Waktu
memang tidak pernah berdusta
Tak
seorang pun bisa…
Untuk
menepis putaran waktu
Janganlah
mengutuk masa lalu…
Bangkit!
Berjuanglah
untuk masa depan.
Tiga
bulan sekali, Ryu mengeposkan kehidupan-kehidupan di desa Sembiring
kepada Lulu. Kebetulan hari itu adalah hari kelahiran Lulu. Jadi pos
keduapuluhnya itu ditemani oleh paket kotak yang terbungkus cantik.
Desa telah berubah pesat. Perpustakaan desa, puskesmas, warung makan,
butik, took buku, salon, gedung SD,SMP, dan SMA. Banyak yang telah
berubah. Walaupun sudah banyak yang berubah, tetapi hutan di belakang
bukit tetap terjaga. Masyarakat di desa juga sudah lebih mapan. Tidak
hanya anak-anak yang semangat belajar, orang dewasa juga belajar.
Untuk menambah wawasan dan ilmu. Memang benar’kan? Mencari ilmu itu
tidak dibatasi oleh umur. Rasanya, desa sebentar lagi akan berubah
menjadi negeri Utopia. Negeri impian semua orang. Negeri di mana
semua orang merasakan kedamaian. Tidak ada pertikaian. Tidak ada
pertumpah darahan. Meski pun setiap warga memiliki pendapatnya
masing-masing.
***
“Lulu…
teman-teman kamu sudah datang tuh. Cepat turun sayang,” Mama
mengingatkan Lulu yang sudah berjanji untuk mendaki gunung bersama
teman-teman SMPnya. “Sebagai kenang-kenangan kalau kita pernah
berteman baik,” kata Lulu saat menghasut kelima teman baiknya.
Disimpannya baik-baik kado dari Ryu. Biasanya ia meletakkann kado
dari Ryu di kotak khusus yang ada di dalam lemari bajunya. Tapi kali
ini berbeda. Ia letakkan di samping foto –yang diambil lima tahun
yang lalu-.
Segera
Lulu turun ke tingkat bawah rumahnya. Rambutnya yang dikucir
bergelayutan dan menampar-nampar bahu kanannya. Senyuman ceria
diterbarnya untuk menutupi rasa khawatir yang mendadak ia rasakan
dari teman-temannya.
“Lama
banget sih,” protes Ina, orang pertama yang berkenalan pertama kali
dengannya ketika ia baru pindah ke sekolah yang baru.
“Kayak
kamu engga kenal dia aja Na,” Rizki mengingatkan Ina.
“Ehm...
udah. Cepetan. Kebiasaan ‘putri solo’nya jangan dibawa-bawa”
Gani meledek sambil berbalik ke arah pintu.
“Maksudnya
putri solo opo toh?” Vivi bingung dengan ucapan Gani pada Lulu.
“Kenapa
aku ndak boleh dibawa-bawa? Emang aku salah opo toh? Sampe segitunya
sama aku,” lanjutnya.
“Memangnya
siapa yang melarang bawa kamu pergi?” Gani malah ikut-ikutan
bingung.
“Iya
toh. Tadi kamu bilang kebiasaan putri solonya jangan dibawa-bawa.
Kenapa aku ndak boleh dibawa toh?”
“Lho?
Iya, aku emang bicara seperti itu. Tapi ga ngelarang siapa-siapa kok”
“Iiiiih…
kamu itu nyebelin ya. Aku emang putri solo. Tapi kenapa aku ndak
boleh dibawa-bawa? Aku punya salah opo ke kamu? Sampe kamu sejahat
itu.”
Ina,
Rizki, dan Gani saling berpandangan. Tidak mengerti akan tanggapan
dari Vivi.
“Oh,
gue ngerti. Vivi ngambek gara-gara perkataan lo, Gani,” Rafli mulai
membuka jalan pemecahan kesalahpahaman yang terjadi.
“Lho?
Kok aku? Kenapa gara-gara aku?”
“Iya
Raf. Kenapa jadi salahnya Gani? Dia’kan engga ngapa-ngapain Vivi.
Jangan menyalahkan Gani dong,” Rizki membela Gani.
Sembari
menuruni tangga, Lulu tersenyum-senyum sendiri. Ia sangat mengerti
yang terjadi dengan protesnya Vivi. Ia tahu kalau kata ‘putri solo’
itu tujukan untuknya. Untuk mengejeknya. Bukan untuk Vivi.
“Makanya
Gani, kalau mau mengatai aku ‘putri solo’ jangan di depan Vivi,”
Lulu sudah berada di anak tangga terbawah.
“Lho?
Memangnya kenapa? Kamu memang ‘putri solo’ kan?”
“Bukan
gitu Gani. Kamu lupa? Vivi itu lahir di Solo. Masih ada keturunan
keratonnya,” Rafli memperjelas.
“Beneran?”
Kini Gani memandangi Vivi. Tak percaya dan tak menyangka.
Ina
dan Rizki menyusul sambil mengangguk-angguk paham. Sementara itu Vivi
yang merasa kalau dirinya baru saja menjadi pusat perhatian, bertanya
dengan begitu polos.
“Kok
aku jadi dipandangi gini toh? Ada yang salah ya?”
“Udah,
udah… mending kita berangkat aja. Ayo Vi, kita berangkat. Yang
tadi, sebaiknya tidak dipikirkan serius,” ajak Lulu.
“Nje,
aku paham”
***
Baru
beberapa meter mendaki gunung, Rafli sudah kelelahan. Nafasnya
tersengal-sengal. Remaja bertubuh gempal itu memang mudah lelah. Ia
sudah tertinggal jauh dari teman-temannya. Untung saja, Lulu berada
di depannya dalam barisan. Jadi ia berteriakk memanggil Lulu.
Kemudian meminta waktu untuk beristirahat. Gani, pemimpin selama
pendakian menyuruh agar yang lainnya duduk melingkar. Seperti yang
dilakukan para sahabat nabi dalam berdiskusi. Dan, menurut Gani,
supaya terasa seperti keluarga. Rafli dan Rizki duduk bersampingan
dengan Gani. Ina duduk di samping Rizki. Diikuti oleh Vivi. Dan yang
terakhir adalah tempat Lulu. Rafli sedang menikmati makanannya. Gani
dan Vivi sibuk berdebat. Sementara Lulu, ia terus engamati gelang
yang sering melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia membuka tutup
ornamen dari gelang itu. Masih tertera jelas. Ukiran nama di
baliknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Mengingatkannya pada Ryu. Sobat
terbaiknya di desa. Mungkin, sudah lima tahun ia tidak bertemu Ryu.
Hanya bisa berkirim surat. Sbab, ia belum diizinkan memiliki ponsel.
“RYULU?
Apa itu? Nama artis? Nama merek?” Tanya Ina yang ikut melihat
ukiran di ornamen gelangnya.
“Bukan,”
jawabnya sambil mengerjapakan mata agar tidak keluar airmata.
“Terus
apa dong? Gelang itu kayaknya penting banget buat kamu”
“RYULU
itu nama singkatan dari Ryu dan Lulu. Benar’kan?” Jawab Rafli
agak ragu.
“Siapa
itu Ryu? Pacar kamu?” Suara Ina agak keras. Sehingga yang lain jadi
berfokus menunggu jawaban Lulu.
“Bukan
ko. Dia itu sobat terbaikku di desa,” lalu ia menghela napas
panjang beberapa saat.
“Kalau
Ryu kamu anggep sobat. Terus, kita dianggep opo toh?” Tanya Vivi
polos.
“Kalian
semua sobat aku juga”
“Ayo
ceritakan tentang dirinya pada kami semua,” pinta Ina.
Lulu
mulai bercerita, awal dirinya dan Ryu bertemu, menjadi teman, lalu
menjadi sobat baik. Saat mereka belajar bersama, bermain bersama,
bolos bersama, dan kejadian yang paling berharga. Saat ia berada di
hutan bersama Ryu karena menginginkan kelinci hutan. Saat ia harus
bersembunyi dari harimau dengan memanjat untaian akar pohon beringin.
Matanya berkaca-kaca lagi. Dalam sekejap, suasana berubah sunyi. Deru
desiran angina semakin terdengar. Persis seperti desiran angin lima
tahun lalu. Saat ia memberitahu kepindahannya ke kota pada Ryu. Rasa
khawatir dalam jiwanya mencuat kembali. Menggoyahkan keberaniannya.
“Huuufh…
ya. Istirahatnya udahan dulu. Kita lanjut mendaki ke atas,” Gani
membuyarkan suasana sunyi.
“Hem.
Betul. Ayo Na, bangun. Jangan duduk terus,” Rizki mengulurkan
tangannya. Membantu Ina untuk berdiri.
Lulu
membantu Rafli yang kesulitan berdiri karena badan gempalnya. Gani
berbalik ke arah Lulu. Ingin mengingatkan sekaligus mengejek Lulu.
“Ayo
cepat. Jangan pake acara putri so…”
Gani
melirik ke arah Vivi. Teringat kejadian tadi pagi. Padahal Lulu dan
Rafli sudah siap memperhatikannya.
“Ga…
ga jadi deh. Langsung jalan aja”
***
Warna
abu-abu menimpa warna cerah di langit dengan paksa. Bak seorang yang
tak sabar menunggu karena telah menunggu untuk waktu yang panjang.
Suara gemuruh yang beradu menemani warna abu-abu di langit. Membuat
langit semakin gelap. Gani, Vivi, Rizki, Ina, dan Lulu serta Rafli
harus mendaki lereng yang agak sulit. Banyak bebatuan yang disinggahi
lumut. Dengan jalan setapak yang ada! Mereka terus mendaki. Harus
berhati-hati. Bisa-bisa jatuh ke dalam lereng ke sisi yang satunya.
Lereng yang dipenuhi semak belukar, akar-akar pohon tua yang mencuat,
dan ranting-ranting kering serta dedaunan kering yang tersebar tak
menentu. Di luar perkiraan, rintik-rintik air hujan jatuh ke dataran
Jawa Barat. Jalan setapak jadi licin. Tentu! Lebih berbahaya dari
sebelumnya.
“Mbok
e… aku sayang mbok…” kata Vivi kaget karena terpeleset dan
nyaris jatuh ke lereng. Beruntungnya, Gani segera meraih lengannya.
Dan meyelamatkan Vivi yang matanya sudah terpejam pasrah. Tiba-tiba
saja…
WUUUSS!!!
Seekor
burung gagak menyerang Ina. Ina masih berhasil mengelak untuk yang
pertama kali dari serangan burung tersebut. Tak hanya Ina, Rafli pun
turut jadi serangan. Adanya gerakan dari pemberontakan yang dilakukan
Ina dan Rafli mengganggu Lulu. Jilbab Ina beberapa kali menampar
wajah Lulu.Menganggu konsentrasinya. Rizki mencoba mengusir burung
itu dengan mengibas-ngibas selembar kain putih yang diikat ke sebuah
patahan cabang pohon. Ina menjerit ketakutan karena terus diserang
burung gagak. Bukannya dapat mengusir burung gagak itu, usaha Rizki
malah memperkeruh suasana. Suasana tambah lebih panik. Sedangkan
tubuh gempal Rafli menyempitkan ruang lingkup gerak Lulu. Akibat dari
usaha Rizki, burung gagak itu terbang ke atas kemudian menukik tajam
menyerang Rafli. Melenyapkan konsentrasi Rafli menjaga keseimbangan
badannya. Lalu…
DUUUKK!
Lulu terhempas karena bertabrakan dengan ransel Rafli.
“Ryuuuuuu…”
Lulu masuk ke dalam lereng! Kuciran rambutnya terlepas.
SRAK!
SRAK! KRAK! SRAK! SRAK! KRAK! DAAK! Tidak ada kesempatan bagi Lulu
untuk melihat seberapa dalam dirinya terjatuh. Sementara hujan mulai
berkecamuk deras. Vivi hanya mematung. Menyaksikan temannya
terperosok dan terbentur batu di pedalaman lereng. Cepat-cepat Gani
mengeluarkan tambang dari dalam ransel. Memilih batang pohon yang
kekar. Dan membuat simpul tiang di sisi pohon dan simpul hidup di
sisi tubuhnya.
“Rizki.
Bakarlah sesuatu kalau hujan udah berhenti. Usahakan membakar dalam
jumlah banyak. Kumpulkan saja cabang-cabang pohon,” katanya sigap.
“Oke
Gani.”
“Vivi…
kamu… cepat cari tempat berteduh. Jangan turun ke bawah sini.
Tinggallah sampai hujan berhenti. Oh iya, Ina! Rafli! Cobalah untuk
menenangkan diri. Oke?”
“Terus,
kamu bagaimana Gani?” Tanya Vivi khawatir.
Tersenyum
simpul. Itulah yang dilakukan Gani kalau sudah serius dan tidak ingin
orang lain khawatir.
“Nanti
aku menyusul Vi,” kemudian Gani turun dengan hati-hati untuk
menyelamatkan Lulu. Dipergelangan tangannya terikat tali tambang.
Dari simpul yang lain yang ia buat.
***
PRAAK!
Sebuah
figura foto terjatuh dari meja kecil yang ada di samping ranjang
tidur Ryu. Di kamar Ryu. Di kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia
menutup halaman novel Ranah 3 Warna yang sedang ia baca.
Diambilnya figura foto itu. Kacanya pecah. Membuat foto usang di
dalamnya terlihat menyedihkan. Ia pandangi foto dalam figura itu.
Gambar seorang anak perempuan berambut panjang dengan ikat rambut
berbandul strawberry berpadu manis dengan dress dan kalung
berbandul chibi membuat dadanya sesak. Apalagi melihat
ujung-ujung dari pecahan kaca di sekita gambar anak perempuan
tersebut.
“Abang
Ryu… kalau kita pindah rumah. Terus gimana cara mba Lulu bales pos
dari abang?” Tanya Echa yang masuk sembarangan ke kamar Ryu dengan
tergesa-gesa.
“Kan
bisa dilihat dari alamat pengirimnya Cha,” Ryu merangkul Echa lalu
duduk di atas ranjang tidur. Sementara, tangan kanannya memegangi
figura foto yang pecah. Pecahan kaca berkilat-kilat di mata Echa
akibat serangan sinar matahari yang menerobos masuk ke kamar Ryu. Ia
penasaran dengan benda yang baru saja berkilat-kilat di matanya.
Begitu sadar, kalau benda yang dipungutnya adalah pecahan kaca. Ia
tahu kalau figura yang dipegang kakaknya sudah pecah.
“Abang…
figuranya kenapa pecah?”
“Abang
juga ga tau Cha. Tiba-tiba aja pecah”
“Yaaah…
abang… bukannya fotonya begitu berarti buat abang?”
“Gampang
Cha. Kan bisa beli figura yang baru. Bisa langsung diganti”
“Oh
iya ya…”
Ayah
Ryu sudah memiliki toko meuble yang lebih besar. Dan
bekerjasama dengan beberapa perusahaan ternama di Jakarta untuk
produk furniture. Juga mempekerjakan lima belas karyawan.
Semua bentuk dan model furniture adalah desain ayahnya. Jadi
Ryu juga belajar membuat furniture dari ayahnya. Keluarga Ryu sudah
tidak tinggal di desa. Ekonomi keluarganya membaik. Kemudian ayah Ryu
memutuskan untuk pindah rumah ke kota. Pindah karena kepentingan
bisnis. Rumah yang lebih nyaman. Dengan dua tingkatan, garasi, dan
taman yang luas. Ryu terus memandangi foto di figura, semakin resah
jiwanya. Semakin pula sesak yang ia rasakan. Pasalnya, pecahan itu
menyelubung di bagian Lulu.
“Ryu!
Echa! Cepat turun. Kalian harus daftar ke sekolah yang baru,” Mama
berteriak dari tingkat bawah.
Echa
segera berlari keluar dengan tas gendong merah berpitanya. Ryu
menyusul dengan santai. Memandangi figura yang ia taruh di atas
ranjang. Benar! Masalahnya bukan figura yang bisa diganti dengan
mudah! Namun sesak yang ia rasakan terhadap foto Lulu. Tetapi, ia
kembali lagi. Memasukkan figura tersebut ke dalam tasnya. Berharap
sesak yang dirasakannya tidak berhubungan apa pun dengan Lulu. Mama
membawa berkas yang diperlukan oleh Ryu dan Echa. Sebab, Echa akan
didaftarkan ke kelas empat SD. Sedangkan Ryu, ia akan didaftarkan ke
SMA.
***
Di
tempat lain, di lereng gunung, pendakian benar-benar dihentikan. Gani
memeriksa tubuh Lulu. Penuh dengan luka. Pelipis kanan atas, lengan
atas, siku, tungkai atas, tungkai bawah. Banyak sekali. Tubuh Lulu
terus dialiri oleh darahnya sendiri. Ia tidak pingsan. Hanya tidak
mampu bergerak. Dan merasa terlalu lelah. Ketika itu juga, ia
mengingat nasihat kakaknya, Firza. Kalau dalam keadaan terluka parah,
sebaiknya kita berdzikir. Begitu ia mengingat nasihat kakaknya. Akan
tetapi, lidahnya terlalu kelu untuk berdzikir dengan lafadz
yang benar. Jadi, dzikirnya hanya terdengar seperti suara gumaman.
Tapi ia yakin kalau Allah akan melindunginya.
“Lu…
lu… sadar Lu,” terdengar suara Gani yang duduk di sampingnya.
Pandangannya
buram ketika ia membuka kelopak matanya. Ia tahu kalau orang yang ada
di dekatnya itu Gani. Tapi, sungguh! Orang yang ia harapkan bukan
Gani. Melainkan Ryu. Sobat yang begitu ia rindukan. Begitu ngilu rasa
sekujur tubuhnya. Ia takut. Banyak hal yang jadi ia takutkan. Salah
satunya takut kalau tidak bisa bertemu dengan Ryu untuk selamanya.
Jika itu terjadi sungguhan, pasti sedih rasanya. Jika hanya bisa
mengamati Ryu dari kejauhan yang tidak bisa dicapai seluruh manusia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar