Senin, 27 Agustus 2012

She's Change bab 3(New Version)

Waktu memang tidak pernah berdusta
Tak seorang pun bisa…
Untuk menepis putaran waktu
Janganlah mengutuk masa lalu…
Bangkit!
Berjuanglah untuk masa depan.


Tiga bulan sekali, Ryu mengeposkan kehidupan-kehidupan di desa Sembiring kepada Lulu. Kebetulan hari itu adalah hari kelahiran Lulu. Jadi pos keduapuluhnya itu ditemani oleh paket kotak yang terbungkus cantik. Desa telah berubah pesat. Perpustakaan desa, puskesmas, warung makan, butik, took buku, salon, gedung SD,SMP, dan SMA. Banyak yang telah berubah. Walaupun sudah banyak yang berubah, tetapi hutan di belakang bukit tetap terjaga. Masyarakat di desa juga sudah lebih mapan. Tidak hanya anak-anak yang semangat belajar, orang dewasa juga belajar. Untuk menambah wawasan dan ilmu. Memang benar’kan? Mencari ilmu itu tidak dibatasi oleh umur. Rasanya, desa sebentar lagi akan berubah menjadi negeri Utopia. Negeri impian semua orang. Negeri di mana semua orang merasakan kedamaian. Tidak ada pertikaian. Tidak ada pertumpah darahan. Meski pun setiap warga memiliki pendapatnya masing-masing.
***
“Lulu… teman-teman kamu sudah datang tuh. Cepat turun sayang,” Mama mengingatkan Lulu yang sudah berjanji untuk mendaki gunung bersama teman-teman SMPnya. “Sebagai kenang-kenangan kalau kita pernah berteman baik,” kata Lulu saat menghasut kelima teman baiknya. Disimpannya baik-baik kado dari Ryu. Biasanya ia meletakkann kado dari Ryu di kotak khusus yang ada di dalam lemari bajunya. Tapi kali ini berbeda. Ia letakkan di samping foto –yang diambil lima tahun yang lalu-.
Segera Lulu turun ke tingkat bawah rumahnya. Rambutnya yang dikucir bergelayutan dan menampar-nampar bahu kanannya. Senyuman ceria diterbarnya untuk menutupi rasa khawatir yang mendadak ia rasakan dari teman-temannya.
“Lama banget sih,” protes Ina, orang pertama yang berkenalan pertama kali dengannya ketika ia baru pindah ke sekolah yang baru.
“Kayak kamu engga kenal dia aja Na,” Rizki mengingatkan Ina.
“Ehm... udah. Cepetan. Kebiasaan ‘putri solo’nya jangan dibawa-bawa” Gani meledek sambil berbalik ke arah pintu.
“Maksudnya putri solo opo toh?” Vivi bingung dengan ucapan Gani pada Lulu.
“Kenapa aku ndak boleh dibawa-bawa? Emang aku salah opo toh? Sampe segitunya sama aku,” lanjutnya.
“Memangnya siapa yang melarang bawa kamu pergi?” Gani malah ikut-ikutan bingung.
“Iya toh. Tadi kamu bilang kebiasaan putri solonya jangan dibawa-bawa. Kenapa aku ndak boleh dibawa toh?”
“Lho? Iya, aku emang bicara seperti itu. Tapi ga ngelarang siapa-siapa kok”
“Iiiiih… kamu itu nyebelin ya. Aku emang putri solo. Tapi kenapa aku ndak boleh dibawa-bawa? Aku punya salah opo ke kamu? Sampe kamu sejahat itu.”
Ina, Rizki, dan Gani saling berpandangan. Tidak mengerti akan tanggapan dari Vivi.
“Oh, gue ngerti. Vivi ngambek gara-gara perkataan lo, Gani,” Rafli mulai membuka jalan pemecahan kesalahpahaman yang terjadi.
“Lho? Kok aku? Kenapa gara-gara aku?”
“Iya Raf. Kenapa jadi salahnya Gani? Dia’kan engga ngapa-ngapain Vivi. Jangan menyalahkan Gani dong,” Rizki membela Gani.
Sembari menuruni tangga, Lulu tersenyum-senyum sendiri. Ia sangat mengerti yang terjadi dengan protesnya Vivi. Ia tahu kalau kata ‘putri solo’ itu tujukan untuknya. Untuk mengejeknya. Bukan untuk Vivi.
“Makanya Gani, kalau mau mengatai aku ‘putri solo’ jangan di depan Vivi,” Lulu sudah berada di anak tangga terbawah.
“Lho? Memangnya kenapa? Kamu memang ‘putri solo’ kan?”
“Bukan gitu Gani. Kamu lupa? Vivi itu lahir di Solo. Masih ada keturunan keratonnya,” Rafli memperjelas.
“Beneran?” Kini Gani memandangi Vivi. Tak percaya dan tak menyangka.
Ina dan Rizki menyusul sambil mengangguk-angguk paham. Sementara itu Vivi yang merasa kalau dirinya baru saja menjadi pusat perhatian, bertanya dengan begitu polos.
“Kok aku jadi dipandangi gini toh? Ada yang salah ya?”
“Udah, udah… mending kita berangkat aja. Ayo Vi, kita berangkat. Yang tadi, sebaiknya tidak dipikirkan serius,” ajak Lulu.
“Nje, aku paham”
***
Baru beberapa meter mendaki gunung, Rafli sudah kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. Remaja bertubuh gempal itu memang mudah lelah. Ia sudah tertinggal jauh dari teman-temannya. Untung saja, Lulu berada di depannya dalam barisan. Jadi ia berteriakk memanggil Lulu. Kemudian meminta waktu untuk beristirahat. Gani, pemimpin selama pendakian menyuruh agar yang lainnya duduk melingkar. Seperti yang dilakukan para sahabat nabi dalam berdiskusi. Dan, menurut Gani, supaya terasa seperti keluarga. Rafli dan Rizki duduk bersampingan dengan Gani. Ina duduk di samping Rizki. Diikuti oleh Vivi. Dan yang terakhir adalah tempat Lulu. Rafli sedang menikmati makanannya. Gani dan Vivi sibuk berdebat. Sementara Lulu, ia terus engamati gelang yang sering melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia membuka tutup ornamen dari gelang itu. Masih tertera jelas. Ukiran nama di baliknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Mengingatkannya pada Ryu. Sobat terbaiknya di desa. Mungkin, sudah lima tahun ia tidak bertemu Ryu. Hanya bisa berkirim surat. Sbab, ia belum diizinkan memiliki ponsel.
RYULU? Apa itu? Nama artis? Nama merek?” Tanya Ina yang ikut melihat ukiran di ornamen gelangnya.
“Bukan,” jawabnya sambil mengerjapakan mata agar tidak keluar airmata.
“Terus apa dong? Gelang itu kayaknya penting banget buat kamu”
RYULU itu nama singkatan dari Ryu dan Lulu. Benar’kan?” Jawab Rafli agak ragu.
“Siapa itu Ryu? Pacar kamu?” Suara Ina agak keras. Sehingga yang lain jadi berfokus menunggu jawaban Lulu.
“Bukan ko. Dia itu sobat terbaikku di desa,” lalu ia menghela napas panjang beberapa saat.
“Kalau Ryu kamu anggep sobat. Terus, kita dianggep opo toh?” Tanya Vivi polos.
“Kalian semua sobat aku juga”
“Ayo ceritakan tentang dirinya pada kami semua,” pinta Ina.
Lulu mulai bercerita, awal dirinya dan Ryu bertemu, menjadi teman, lalu menjadi sobat baik. Saat mereka belajar bersama, bermain bersama, bolos bersama, dan kejadian yang paling berharga. Saat ia berada di hutan bersama Ryu karena menginginkan kelinci hutan. Saat ia harus bersembunyi dari harimau dengan memanjat untaian akar pohon beringin. Matanya berkaca-kaca lagi. Dalam sekejap, suasana berubah sunyi. Deru desiran angina semakin terdengar. Persis seperti desiran angin lima tahun lalu. Saat ia memberitahu kepindahannya ke kota pada Ryu. Rasa khawatir dalam jiwanya mencuat kembali. Menggoyahkan keberaniannya.
“Huuufh… ya. Istirahatnya udahan dulu. Kita lanjut mendaki ke atas,” Gani membuyarkan suasana sunyi.
“Hem. Betul. Ayo Na, bangun. Jangan duduk terus,” Rizki mengulurkan tangannya. Membantu Ina untuk berdiri.
Lulu membantu Rafli yang kesulitan berdiri karena badan gempalnya. Gani berbalik ke arah Lulu. Ingin mengingatkan sekaligus mengejek Lulu.
“Ayo cepat. Jangan pake acara putri so…”
Gani melirik ke arah Vivi. Teringat kejadian tadi pagi. Padahal Lulu dan Rafli sudah siap memperhatikannya.
“Ga… ga jadi deh. Langsung jalan aja”
***
Warna abu-abu menimpa warna cerah di langit dengan paksa. Bak seorang yang tak sabar menunggu karena telah menunggu untuk waktu yang panjang. Suara gemuruh yang beradu menemani warna abu-abu di langit. Membuat langit semakin gelap. Gani, Vivi, Rizki, Ina, dan Lulu serta Rafli harus mendaki lereng yang agak sulit. Banyak bebatuan yang disinggahi lumut. Dengan jalan setapak yang ada! Mereka terus mendaki. Harus berhati-hati. Bisa-bisa jatuh ke dalam lereng ke sisi yang satunya. Lereng yang dipenuhi semak belukar, akar-akar pohon tua yang mencuat, dan ranting-ranting kering serta dedaunan kering yang tersebar tak menentu. Di luar perkiraan, rintik-rintik air hujan jatuh ke dataran Jawa Barat. Jalan setapak jadi licin. Tentu! Lebih berbahaya dari sebelumnya.
“Mbok e… aku sayang mbok…” kata Vivi kaget karena terpeleset dan nyaris jatuh ke lereng. Beruntungnya, Gani segera meraih lengannya. Dan meyelamatkan Vivi yang matanya sudah terpejam pasrah. Tiba-tiba saja…
WUUUSS!!!
Seekor burung gagak menyerang Ina. Ina masih berhasil mengelak untuk yang pertama kali dari serangan burung tersebut. Tak hanya Ina, Rafli pun turut jadi serangan. Adanya gerakan dari pemberontakan yang dilakukan Ina dan Rafli mengganggu Lulu. Jilbab Ina beberapa kali menampar wajah Lulu.Menganggu konsentrasinya. Rizki mencoba mengusir burung itu dengan mengibas-ngibas selembar kain putih yang diikat ke sebuah patahan cabang pohon. Ina menjerit ketakutan karena terus diserang burung gagak. Bukannya dapat mengusir burung gagak itu, usaha Rizki malah memperkeruh suasana. Suasana tambah lebih panik. Sedangkan tubuh gempal Rafli menyempitkan ruang lingkup gerak Lulu. Akibat dari usaha Rizki, burung gagak itu terbang ke atas kemudian menukik tajam menyerang Rafli. Melenyapkan konsentrasi Rafli menjaga keseimbangan badannya. Lalu…
DUUUKK! Lulu terhempas karena bertabrakan dengan ransel Rafli.
“Ryuuuuuu…” Lulu masuk ke dalam lereng! Kuciran rambutnya terlepas.
SRAK! SRAK! KRAK! SRAK! SRAK! KRAK! DAAK! Tidak ada kesempatan bagi Lulu untuk melihat seberapa dalam dirinya terjatuh. Sementara hujan mulai berkecamuk deras. Vivi hanya mematung. Menyaksikan temannya terperosok dan terbentur batu di pedalaman lereng. Cepat-cepat Gani mengeluarkan tambang dari dalam ransel. Memilih batang pohon yang kekar. Dan membuat simpul tiang di sisi pohon dan simpul hidup di sisi tubuhnya.
“Rizki. Bakarlah sesuatu kalau hujan udah berhenti. Usahakan membakar dalam jumlah banyak. Kumpulkan saja cabang-cabang pohon,” katanya sigap.
“Oke Gani.”
“Vivi… kamu… cepat cari tempat berteduh. Jangan turun ke bawah sini. Tinggallah sampai hujan berhenti. Oh iya, Ina! Rafli! Cobalah untuk menenangkan diri. Oke?”
“Terus, kamu bagaimana Gani?” Tanya Vivi khawatir.
Tersenyum simpul. Itulah yang dilakukan Gani kalau sudah serius dan tidak ingin orang lain khawatir.
“Nanti aku menyusul Vi,” kemudian Gani turun dengan hati-hati untuk menyelamatkan Lulu. Dipergelangan tangannya terikat tali tambang. Dari simpul yang lain yang ia buat.
***
PRAAK!
Sebuah figura foto terjatuh dari meja kecil yang ada di samping ranjang tidur Ryu. Di kamar Ryu. Di kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia menutup halaman novel Ranah 3 Warna yang sedang ia baca. Diambilnya figura foto itu. Kacanya pecah. Membuat foto usang di dalamnya terlihat menyedihkan. Ia pandangi foto dalam figura itu. Gambar seorang anak perempuan berambut panjang dengan ikat rambut berbandul strawberry berpadu manis dengan dress dan kalung berbandul chibi membuat dadanya sesak. Apalagi melihat ujung-ujung dari pecahan kaca di sekita gambar anak perempuan tersebut.
“Abang Ryu… kalau kita pindah rumah. Terus gimana cara mba Lulu bales pos dari abang?” Tanya Echa yang masuk sembarangan ke kamar Ryu dengan tergesa-gesa.
“Kan bisa dilihat dari alamat pengirimnya Cha,” Ryu merangkul Echa lalu duduk di atas ranjang tidur. Sementara, tangan kanannya memegangi figura foto yang pecah. Pecahan kaca berkilat-kilat di mata Echa akibat serangan sinar matahari yang menerobos masuk ke kamar Ryu. Ia penasaran dengan benda yang baru saja berkilat-kilat di matanya. Begitu sadar, kalau benda yang dipungutnya adalah pecahan kaca. Ia tahu kalau figura yang dipegang kakaknya sudah pecah.
“Abang… figuranya kenapa pecah?”
“Abang juga ga tau Cha. Tiba-tiba aja pecah”
“Yaaah… abang… bukannya fotonya begitu berarti buat abang?”
“Gampang Cha. Kan bisa beli figura yang baru. Bisa langsung diganti”
“Oh iya ya…”
Ayah Ryu sudah memiliki toko meuble yang lebih besar. Dan bekerjasama dengan beberapa perusahaan ternama di Jakarta untuk produk furniture. Juga mempekerjakan lima belas karyawan. Semua bentuk dan model furniture adalah desain ayahnya. Jadi Ryu juga belajar membuat furniture dari ayahnya. Keluarga Ryu sudah tidak tinggal di desa. Ekonomi keluarganya membaik. Kemudian ayah Ryu memutuskan untuk pindah rumah ke kota. Pindah karena kepentingan bisnis. Rumah yang lebih nyaman. Dengan dua tingkatan, garasi, dan taman yang luas. Ryu terus memandangi foto di figura, semakin resah jiwanya. Semakin pula sesak yang ia rasakan. Pasalnya, pecahan itu menyelubung di bagian Lulu.
“Ryu! Echa! Cepat turun. Kalian harus daftar ke sekolah yang baru,” Mama berteriak dari tingkat bawah.
Echa segera berlari keluar dengan tas gendong merah berpitanya. Ryu menyusul dengan santai. Memandangi figura yang ia taruh di atas ranjang. Benar! Masalahnya bukan figura yang bisa diganti dengan mudah! Namun sesak yang ia rasakan terhadap foto Lulu. Tetapi, ia kembali lagi. Memasukkan figura tersebut ke dalam tasnya. Berharap sesak yang dirasakannya tidak berhubungan apa pun dengan Lulu. Mama membawa berkas yang diperlukan oleh Ryu dan Echa. Sebab, Echa akan didaftarkan ke kelas empat SD. Sedangkan Ryu, ia akan didaftarkan ke SMA.
***
Di tempat lain, di lereng gunung, pendakian benar-benar dihentikan. Gani memeriksa tubuh Lulu. Penuh dengan luka. Pelipis kanan atas, lengan atas, siku, tungkai atas, tungkai bawah. Banyak sekali. Tubuh Lulu terus dialiri oleh darahnya sendiri. Ia tidak pingsan. Hanya tidak mampu bergerak. Dan merasa terlalu lelah. Ketika itu juga, ia mengingat nasihat kakaknya, Firza. Kalau dalam keadaan terluka parah, sebaiknya kita berdzikir. Begitu ia mengingat nasihat kakaknya. Akan tetapi, lidahnya terlalu kelu untuk berdzikir dengan lafadz yang benar. Jadi, dzikirnya hanya terdengar seperti suara gumaman. Tapi ia yakin kalau Allah akan melindunginya.
“Lu… lu… sadar Lu,” terdengar suara Gani yang duduk di sampingnya.
Pandangannya buram ketika ia membuka kelopak matanya. Ia tahu kalau orang yang ada di dekatnya itu Gani. Tapi, sungguh! Orang yang ia harapkan bukan Gani. Melainkan Ryu. Sobat yang begitu ia rindukan. Begitu ngilu rasa sekujur tubuhnya. Ia takut. Banyak hal yang jadi ia takutkan. Salah satunya takut kalau tidak bisa bertemu dengan Ryu untuk selamanya. Jika itu terjadi sungguhan, pasti sedih rasanya. Jika hanya bisa mengamati Ryu dari kejauhan yang tidak bisa dicapai seluruh manusia.
***
To be Continued…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biological Agent Classification According to the Risk

Class Deskripsi Tipe Agent Contoh Mikroorganisme Class I Mikroorganisme yang digun...