Senin, 27 Agustus 2012

She's Change bab 4

“Lulu? Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ryu yang duduk bersama Lulu. Di atas bukit, di balik desa, tempat tersimpan banyak kenangan. Terbangun dengan terkejut, Lulu mengakhiri menyandarkan kepalanya pada bahu Ryu. Ia menatap Ryu. Meneliti sosok Ryu yang berada di sampingnya. Apakah ini mimpi? Apakah sosok Ryu yang berada di sampingku sungguhan? Bukankah yang berada di samping diriku adalah Gani? Ia bertanya-tanya hati. Tapi, jika hal itu memang nyata, ia begitu senang. Sangat senang.
Ia peluk erat-erat sosok Ryu. Ia pikir, ia tidak akan bisa bertemu dengan Ryu lagi. Apalagi kalau mengingat kejadian yang menimpa dirinya beberapa saat yang lalu.
“Aku baik-baik saja. Sangat baik, karena akhirnya kita bertemmu lagi,” jawabnya begitu bahagia.
Tapi ada yang aneh dari Ryu. Banyak pertanyaan yang enggan ia jawab jika Lulu bertanya. Senyuman. Ia akan membalas dengan senyuman setiap pertanyaan yang enggan ia jawab.
“Lu… jaga dirimu baik-baik ya,” Ryu begitu lembut. Senyuman Ryu menghanyutkan kekhawatiran Lulu.
KRAK! KRAAK! DRRRT DRRT
Ada retakan di tanah antara mereka! Lulu menjadi pucat pasi. Retakan itu semakin terpecah. Memisahkannya dengan Ryu. Panic. Keadaan memaksanya berdiri. Terperangah melihat Ryu tersenyum seperti biasa. Tidak ada kepanikan sedikit pun dari paras Ryu. Sementara itu, lempengan bumi yang menjadi pijakan Lulu terus bergerak menjauh. Air matanya membasahi pipinya yang semerah buah tomat karena tidak bisa lagi ia tahan. Ryu! Ryu! Begitu teriakan dalam hatinya. Sayang, teriakan itu tidak terdengar Ryu. Tiba-tiba saja, sekeliling Lulu menjadi gelap gulita. Jalannya mengendap-endap untuk mencari jalan keluar. Matanya tidak bisa melihat apa pun. Terlalu gelap. Hitam pekat.
“KYAAAAAA!”
Perasaan tak menentu beradu di hati Lulu. Kesempatan bertemu Ryu malah terpisah kembali. Mencari jalan keluar. Malah terperosok ke dalam lubang yang sempit, gelap, dan engap. Tangisannya tak bisa didengar oleh siapa pun. Sekali pun ia sudah menangis sekencang-kencangnya. Toh, pada akhirnya ia hanya menangis di tengah kegelapan.
***
Detak jantungnya! Detak jantungnya terus melemah. Tim medis pun memutuskan untuk melakukan kejut jantung. Memindahkan dirinya ke ruangan yang lain. Satu. Dua. Tiga. Dadanya termagnet sesaat lalu terlepas lagi. Satu. Dua. Tiga! Hal itu terus dilakukan hingga detak jantungnya kembali normal. Nasehat yang bisa ia dengar hanya, “harus banyak istirahat”. Tak bisa! Kelopak matanya tak bisa ia paksa agar tebuka. Nyeri menjalar di seluruh tubuhnya. Lagi! Hanya bisa menangis tanpa ada yang mendengar. Lelah. Menggoda jasmani dan rohaninya untuk beristirahat. Dari segala kesedihan, kekhawatiran, dan kesakitan.
***
PIP… PIP… PIP… PIP…
Papa, Mama, dan ka Firza menunggu raga Lulu di dalam kamar. Papa sibuk berbisik-bisik dengan dokter. Mama mengelus-elus kening Lulu dengan lembut. Mamanya berusaha tegar. Bayangkan! Betapa pedihnya seorang ibu melihat anaknya terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuh. Tungkai kaki kanan Lulu dibidai karena tulang keringnya patah. Wajahnya juga tertimpa ala bantu napas. Vivi malah memuta-mutar kedua jari telunjuknya. Ina, Rizki, dan Gani tak bersuara sedikit pun. Rafli kelimpungan di depan pintu kamar.
“Lulu… kamu harus sadar. Yakinkan hatimu kalau semua akan baik-baik saja,” katanya seperti cacing kepanasan.
“All is well Lu,” lanjutnya.
“Kami akan ada bersama kamu…
“Bahkan kalau perlu, akan kucarikan Ryu untukmu”
Rafli terus berucap. Berharrap semua ucapannya tersampaikan pada Lulu yang diam terbaring di dalam kamar. Ka Firza mencoba berbincang dengan Lulu. Tapi tetap saja, Lulu terus diam tertidur. Tak bergerak. Atau sekedar membuka kedua matanya.
Gani tidak mempedulikan kaos putihnya yang kotor, yang merusak penampilannya. Tampak seperti gembel. Noda darah, coklat kehitaman tanah bercampur sempurna dengan serpihan daun kering menghias abstrak penampilannya. Bunyi alat pemantau detak jantung mengganggu telinga seluruh orang yang menyayangi Lulu di dalam ruangan. Rafli berubah merutuki dirinya, melihat tidak ada reaksi apa pun dari Lulu. Ia marah, sedih, dan khawatir. Usai berbincang dengan Papa, dokter keluar kamar dan melihat Rafli yang berkeringat dingin. Dokter itu tersenyum ramah padanya. Berjalan cepat ke arahnya, kemudian menyergap bahu Rafli.
“Tidak apa-apa. Gadis di dalam sana akan baik-baik saja,” ssetelah itu dokter pergi melewati lorong koridor rumah sakit dengan ekspresi bersimpati. Dan Rafli sempat melihat ekspresi beliau walau sesaat.
“Pasti ada yang disembunyikan oleh dokter tadi. Tapi tentang apa?” Rafli begitu yakin dengan argumennya.
***
Mungkin langit di angkasa turut bersedih. Awan hitam mengulung-gulung di langit. Menyekap langit petang. Awalnya hanya awan hitam pekat di langit. Tapi, setelah ikut nimbrung, suasana langit petang menyirnakan banyak harapan manusia.
Petang berganti malam. Begitu juga kilat. Kilat berganti rintik hujan. Lambat laun malam semakin larut. Rintikan hujan berganti hujan badai. Ina, Rizki, dan Rafli sudah pulang ke rumah mereka. Gani mengintip langit malam dari balik tirai jendela. Hujan begitu deras. Badai berkali-kali menjilati gedung-gendung bertingkat dan pohon-pohon kekar yang menjulang. Air mengalir di kaca jendela luar. Dengan bintik-bintik air akibat terpercik benda-benda di sekitar. Tubuhnya jadi bergidik kedinginan. Hawa dingin menerobos masuk lewat kaca jendela. Lalu tirai itu ditutup agar hawa dingin terserap kain tirai.
“Dasar. Bukannya pulang,” kata Gani pelan dengan desahan, melihat Vivi tertidur di sofa. Dilepasnya jaket hitam bergaris pinggir merah untuk menyelimuti tubuh Vivi. Kemudian duduk dan menyenderkan kepala Vivi ke bahunya. Papa dan mama Lulu pulang ke rumah. Papanya akan dinas selama seminggu di Tanggerang. Sementara mamanya, akan kembali ke rumah sakit membawa beberapa pasang baju ganti. Ka Firza tertidur di kursi sembari menghangatkan tangan Lulu. Semoga Lulu di sana merasa hangat dan nyaman, serta tidak merasa kesepian. Begitu harapannya.
***
Sudah tidak bisa! Persedian air matanya sudah habis. Setetes pun. Ia berusaha memanggil semua orang yang ia sayangi hingga suaranya serak. Kegelapan. Secercah cahaya pun tidak ada. Yang ada malam sepanjang waktu.
“Papa… mama…” Panggilnya serak.
“Ka Firza…
“Ryu… Vivi… Gani…
“Ina… Rizki… Rafli…
“Siapapun! Bantu aku keluar dari sini,” katanya dengan kepala menengadah dan memukul-mukul batasan ruang.
Namun sia-sia saja. Tidak ada yang datang. Kesepian dan ketakutan menyatu dalam dirinya di dalam ruang hampa. Menunggu seseorang datang. Seketika saja, tangan kirinya menghangat. Seperti pertanda kalau ada orang yang menunggunya dengan penuh harap. Kantung matanya yang sembap mengatup-ngatup beberapa kali. Dan akhirnya menutup beristirahat dengan kehangatan di tangan kiri.
***
Waktu terus berputar ke masa depan. Tetapi, tidak untuk Lulu. Suhu tubuhnya masih hangat. Sayangnya, tak sedikit pun raganya bergerak. Rafli merasa bersalah setelah melihat keadaan Lulu selama beberapa hari. Secara diam-diam ia mencari alamat kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia ingin Ryu menjenguk sobat kecilnya dulu. Setidaknya meminta Ryu untuk mebisikkan kalimat-kalimat semangat di salah satu telinga Lulu. Agar Lulu cepat tersadar dari tidurnya.
Memang tidak mudah untuk mencari keberadaan Ryu. Untung saja motor yang ia kendarai dari Pondokgede ke Tanggerang Selatan bukan motor “ecek-ecek”. Butuh pengorbanan yang banyak untuk menemukan keberadaan Ryu. Usahanya tidak sia-sia! Selalu adajalan jika ada kemauan. Setiba di depan pagar rumah keluarga Ryu, cepat-cepat ia mematikan mesin motornya dan turun untuk menekan tombol bel.
“ADA TAMU! ADA TAMU! ADA TAMU!”
Bunyi belnya tidak lazim. Setelah beberapa saat menunggu, seorang anak laki-laki berperawakan tinggi membuka pintu pagar. Rafli meneliti dalam-dalam paras anak laki-laki itu. Berkulit putih, bermata sipit, berambut coklat, mengenakan kacamata baca, dan gelang kulit berornamen di pergelangan tangan kanannya.
“Ryu Hisaki?” Nadanya bertanya agak ragu.
“Ya. Benar. Ada urusan apa ya?”
Pagar rumahnya semakin terbuka lebar.
“Aku Rafli, teman dari Lulu Ariana. Ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu”
“Oh. Begitu… kalau begitu silakan masuk. Motornya juga dimasukkan ke taman rumah saja.”
Mungkin Rafli sudah kelelahan mengendarai. Tubuh gempal yang ia miliki membuatnya terengah-engah ketika memasukkan motornya ke taman rumah Ryu. Walau hanya sekilas, ia melihat Echa. Adik perempuan Ryu.
“Manis sekali,” katanya tanpa sadar.
“Eh?” Ryu melihat arah pandangan mata Rafli.
“Oh… dia itu Echa Hisaki. Adik aku,” jelas Ryu yang memergoki mata Rafli yang mengamati Echa. Dengan senyum simpulnya yang khas.
Kemudian Ryu mengajak Rafli masuk ke dalam ruang tamu. Ukuran ruang tamunya memang tidak luas, tapi desain interiornya menyulap ruang tamu itu terlihat lebih besar dari ukuran yang sebenarnya. Sembari Rafli meneliti ruang tamu rumahnya, Ryu menyiapkan sekaleng bikuit, dua gelas kaca yang terisi penuh, dan teko berdesain yang juga terisi penuh. Begitu dipersilakan Ryu untuk minum, Rafli meneguk habis air di gelas dalam tiga tergukan.
“Jadi, ada urusan penting apa?” Ryu mempercepat perbincangan.
“Aku ke sinin mau minta bantuan sama kamu untuk Lulu”
‘Lho? Memang Lulu kenapa? Sampai memerlukan bantuanku?” Ryu mulai khawatir mengingat figura foto yang jatuh. Lengkap dengan ingatan posisi pecahan kaca figura itu. Lalu…
CKLEK. Tampaknya seseorang masuk ke dalam rumah. Ryu pikir yang masuk adalah karyawan perusahaan Ayahnya. Jadi Ryu bersikap acuh.
“Sebenarnya Lulu… ia… ia… belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ia terus saja tertidur di ranjang pasien di rumah sakit”
Tersentak. Berusaha keras Ryu menyembunyikan ekspresi itu. Berpura-pura tetap tenang seperti biasanya. Meneguk sekali air putih di gelas kaca agar irama pernapasannya tetap stabil.
“Lalu? Bantuan seperti apa yang kamu inginkan?”
‘Datanglah untuk menjenguknya. Berikan ia semangat. Berjanjilah padanya kalau kamu akan sering-sering bersamanya,” pintanya begitu lancar.
Ryu tidak bergeming. Tatapan matanya bak seorang yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Mendapati reaksi Ryu yang tidak bergeming, Rafli menjelaskan awal kecelakaan yang dialami Lulu. Dari keberangkatan ke kaki gunung, duduk melingkar, rintikan hujan, serangan burung gagak, hingga yang terakhir, saat Lulu jatuh terperosok ke lereng gunung. Cerita Rafli membuat Ryu shock. Ia baru paham, kalau jatuhnya figura foto itu sebagai pertanda. Pertanda kalau terjadi bahaya pada Lulu. Seharusnya aku menyadari hal itu dari awal. Dasar payah. Sesalnya dalam hati.
BRUUUUUSS
Paperbag belanjaan Umi jatuh. Tomat merah jatuh bergelundung di lantai ruang tamu. Sontak Ryu memalingkan pandangannya ke arah Umi, lalu memandangi tomat yang bergoyang-goyang selagi mencari keseimbangan. Echa mendengar suara khas paperbag yang jatuh dan segera berlari ke ruang tamu.
“Umi… Umi kenapa? Paperbag belanjaan Umi jatuh,” Tanya Echa sambil membereskan sayuran yang jatuh tercecer.
“Abang. Umi kenapa? Kenapa belanjaannya dijatuhin sama Umi?” Echa mengalihkan pertanyaannya pada Ryu. Ryu segera bergeming.
“Oh… tidak apa-apa kok Cha. Belanjaan Umi jatuh karena tangan Umi kelelahan. Mendingan Echa bantuin Umi bawa belanjaan ke dapur. Abang lagi ada tamu”
Echa mengangguk paham.
***
Hampir sepekan Lulu terus tertidur. Ina dan rizki tidak bisa mengunjungi Lulu sebab mereka harus menyerahkan beberapa dokumen nilai untuk keperluan mendaftar di SMA. Kalau Rafli, Gani, dan Vivi sudah mendaftar lebih dulu. Memang benarkan? Lebih cepat lebih baik. Rafli terus memandangi jam tangannya. Menghitung jumlah waktu yang telah terlewat. Vivi dating dengan seikat bunga bakung. Lengkap dengan vas melaminenya. Gani datang tepat di belakang Vivi. Mama membantu Vivi dengan mengisikan air ke vas bunga sebagai tanda terima kasih.
“Satu… dua… tiga…- Vivi menghitung setiap tangkai bunga yang ia masukkan ke dalam vas.
“Empat… lima…” ia berhenti menghitung. Berbalik ke arah Gani yang berdiri di belakangnya.
“Lihat! Bunganya cantik’kan? Ayo masukkan kedua bunga ini ke dalam vas,” ia menyodorkan dua tangkai bunga ke wajah Gani. Dekat dengan hidung Gani. Ia sih berniat baik mau memasukkan kedua bunga itu, tapi sayangnya, bukannya ia memasukkan kedua bunga itu, yang ada, kedua bahunya terangkat dan kemudian…
HAAATTSSSSSIIIIH
Kepala Gani merontokkan semua kelopak bunga bakung. Vivi shock. Wajah pelongonya tersirat jelas. Disusul dengan siratan kecewa. Setelah itu Vivi menyalahkan Gani. Gani juga tidak mau disalahkan begitu saj. Ia berdalih dengan mengungkap kelemahannya. Ia berdalih kalau ia alergi terhadap bunga. Alergi terhadap bunga! Sungguh konyol. Gerutu Vivi. Pada akhirnya perkelebatan di antara mereka tidak bisa dipisahkan lagi. Perkelebatan yang sering terjadi.
***
Paras Rafli terlihat –harap cemas-. Menunggu kedatangan seseorang. Ryu. Kemarin, sebelum berpamitan, ia belum mendapatkan jawaban dari Ryu. Atau sebuah kepastian dari Ryu. Saat ia mendapati kesedihan di mata Ryu, Ryu tidak bicara sepatah kata pun. Hanya membuka pagar rumah. Walau pun Rafli berusaha memohon padanya, tetap saja, ia tidak bergeming. Hanya ketidakpastian yang Rafli dapat setelah ia melajukan motornya kembali ke Pondokgede.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biological Agent Classification According to the Risk

Class Deskripsi Tipe Agent Contoh Mikroorganisme Class I Mikroorganisme yang digun...