Selasa, 04 September 2012

She's Change

SHE’S CHANGE
“Ryuuu! Tunggu aku,” Lulu berusaha mengejar sobatnya yang berlari menyusuri hutan. Mengejar-ngejar kelinci hutan.
“Lulu, kalau tidak cepat-cepat entar kelincinya keburu jauh,” kaki kurus Ryu melompat-lompat ringan beberapa kali melewati akar-akar pohon besar yang menjulang dan melengkung ke atas.
Sementara Lulu, ia tersandung akar-akar pohon untuk beberapa kali yang bisa dilewati dengan mudah oleh Ryu. Kalung perak yang terkait berbandul lempeng chibi anak perempuan yang melingkari lehernya terayun-ayun akibat gerakannya. Awalnya, ia bisa mengikuti gerakan Ryu. Tapi, kaki putih langsatnya terlalu gemulai untuk melewati rumput ilalang yang terasa menusuk-nusuk membuatnya menyerah dan jatuh tersungkup karena tersandung akar pohon tua dan besar yang menjalar di atas lapisan tanah. Kalungnya ikut terlempar ke dalam lubang pohon yang dibuat seekor binatang karena hentakan badan Lulu yang terjatuh. Lulu mulai menangis terisak. Melihat sobatnya menangis, Ryu menghentikan langkahnya, membiarkan kelinci sasarannya pergi ke dalam hutan bagian dalam. Ia menghampiri sobat perempuannya yang menangis.
Lulu menundukkan kepalanya. Rambut hitamnya yang lurus panjang terjuntai ke bawah. Ryu pun berusaha menghiburnya.
“Kamu ini kenapa? Kan’ kamu sendiri yang mau pelihara kelinci hutan tadi. Dasar bodoh”
Tangisan Lulu semakin merajuk menndengar ucapan Ryu.
“Sudah! Berhenti menangis. Dan cepat berdiri,” ucapan Ryu seolah tidak peduli akan luka lebam di pergelangan kaki Lulu. Ia berpura-pura terlihat tenang di hadapan Lulu.
Namun, Lulu tetap menangis dan tidak mau berdiri. Air matanya terus menangis dari sudut matanya yang indah.
“Iya deh aku minta maaf karna engga berhasil menangkap kelinci hutan itu dan mengajak kamu ke sini. Sudah, cepat berdiri” Ryu menyesal.
Lulu tetap menangis. “ Memangnya sakit banget ya?’” Ryu membungkuk dan melihat kedua kaki Lulu. Mencari bagian-bagian yang lebam. Dan membuat Lulu terus menangis tanpa tahu penyebabnya.
“Maaf deh. Sakit ya?” Ryu melembut.
“Bukan itu! Aku menangis bukan karna itu,” Lulu mulai bicara walau pelan.
“Hah? Terus karna apa dong?”
“Kamu jahat! Kamu mengatai aku bodoh! Cepat tarik kata-katamu yang tadi! Aku’kan hanya terjatuh, kenapa dikatai bodoh?”
“Apa? Ya ampun! Aku kira kamu nangis karna sakit. Kalau kata-kata yang itu tidak akan kutarik. Aaaahh.. sudahlah cepat berdiri. Ayo kita pulang”
Ketika Lulu berdiri, kaki kanannya bergetar. Kemudian terjatuh. Lalu ia kembali berdiri. Dan kembali terjatuh. Hingga yang kelima kalinya ia mencoba untuk berdiri, namun tetap gagal. Ryu menjadi kesal. Ia marah. Marah pada dirinya sendiri. Ia pun berjongkok membelakangi Lulu.
“Naiklah! Dan berhenti menangis. Berisik tau”
“Benarkah?” Kini isakan Lulu terhenti.
Ryu mengangguk iya. Tangan Lulu tersimpul erat, membekap dada Ryu. Kedua kakinya dirangkul Ryu agar tidak jatuh. Sesekali, simpulan tangannya merenggang saat Ryu melewati akar-akar pohon besar yang kemudian dieratkan kembali. Ia merasa aman berasa di dekat sobatnya. Hampir setiap saat mereka bersama. Bemain, belajar, menjelajah, berangkat sekolah. Mereka seperti tidak bisa dipisahkan. Ryu, ia anak yang cerdas, cekatan, dan terampil. Walaupun sering bersikap masa bodoh. Sementara Lulu, ia anak yang cantik, pintar, dan ramah. Mereka sering bergantian berkunjung ke rumah satu sama lain. Orang tua mereka juga sudah saling kenal. Dan terbiasa dengan kegiatan mereka berdua. Mereka tinggal di desa. Desa yang indah, bersih, dan masih asri.
Di belakang desa ada sebuah bukit. Bukit yang dihuni rerumputan liar, pohon-pohon dan beberapa hewan hutan yang bervariasi. Sebab di balik bukit terdapat hutan. Hutan yang dianggap sebagian masyarakat desa sebagai hutan terlarang. Sepasang mata burung elang putih berekor hitam mengamati setiap langkah Ryu. Lulu mengamati sekitarnya. Akar pohon beringin yang berjuntai rimbun sudah dilewati sejauh lima meter. Walau hanya semilir angin yang menampar lembut untaian akar, bunyi desirannya begitu mencekam. Alunan music hutan seakan bunyi genderang yang bertabuh menghipnotis pendengarnya. Melewati pohon beri hutan yang tersamarkan oleh semak-semak di sampingnya. Dan kembali melewati juntaian akar pohon yang lebat. Ryu telah terhipnotis alunan music “sang jantung hutan”. Lulu tersadar akan hal itu. Sepasang mata burung mata masih nyaman mengamati langkah kaki Ryu dari sebuah batang pohon.
“Ryu! Berhentilah untuk terus melangkah ke arah yang sama. Langkahmu membuat kita hanya berjalan mengitari phon beringin, beri hutan, dan semak-semak belukar. Langkahmu hanya membuat kita tersesat! Dan di mana sarang ternak lebah milik Ayahmu? Sarang itu sebagai tanda kalau kita berada di hulu hutan”
“Benarkah itu? Kalau itu memang benar, beritahu aku, di mana sekarang aku berdiri,” Ryu menghentikan langkahnya dan berusaha mendengar suara yang samar. Seperti suara geraman.
“Apa? Kamu sungguh tidak tau? Kau sedang berdiri tepat di bawah pohon beringin. Pohon terbesar dan tertua di hutan ini,” sementara itu, Ryu berjalan mundur perlahan, mendekati batang pohon yang diperkirakan berdiameter beberapa dekade itu. Untaian akarnya pun panjang-panjang. Nyaris menyentuh tanah. Ryu memilih juntaian akar yang tidak terlalu panjang. Lulu mulai merasakan kekhawatiran dari sikap Ryu.
GHHHEER. GHHHHEEERR. Kemudian, SRAAK. SRAAKK.
“Cepat panjat akar-akar pohon ini setinggi-tingginya. Sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Dan berhati-hatilah. Jangan sampai menimbulkan gerak-gerik yang mencolok. Apalagi sampai jatuh. Mengerti?” Ryu berbisik. Setelah Lulu mengangguk mengerti, ia dinaikkan beberapa meter lebih tinggi agar lebih mudah untuk memanjat untaian akar pohon. Tanpa ragu sedikit pun, Ryu memanjat beberapa untaian akar pohon yang dipercayai sebagai jantung hutan itu di sisi yang lainnya. Tak berapa lama kemudian, sosok penggeram itu muncul. Dipandangnya jelas oleh Ryu dari ketinggian. Sosok itu. Sosok itu dipenuhi warna oranye cerah. Diserati garis-garis loreng hitam legam. Membuat sosok itu terlihat cantik, tapi juga menakutkan untuk didekati. Saat itu juga Lulu dapat melihat sosok geraman yang diwaspadai oleh sobatnya. Wajahnya yang baru berseri kembali menjadi pucat ketakutan. Genggaman kedua tangannya mulai bergetar. Juga melemah. Ia melayangkan pandangan menyerah pada Ryu. Butiran-butiran keringat mulai keluar dari keningnya. Untaian akar pohon yang ia genggam bergerak mengikuti gemetar tangannya. Kedua kakinya yang tidak mampu menahan beban tubuhnya mengakibatkan ia turun beberapa meter dari tempatnya semula. Suara gemersik yang ditimbulkannya membuat sosok menakutkan di bawah, berputar-putar perlahan. Untungnya seekor burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya hingga mengalihkan perhatian sosok itu. Burung itu berkicau seolah menantang sosok yang ukuran tubuhnya lebih besar berkali-kali lipat dan memiliki deretan gigi yang siap mengoyak tubuh burung itu bila tertangkap. Burung yang sedaritadi mengamati Ryu dan Lulu.
“Ryu. Aku takut,” kata Lulu pelan pada sobatnya yang bergantung lebih tinggi.
“Bersabarlah sedikit lagi”
Ujung untaian akar bergerak mengikuti gerakan tubuh Lulu yang semakin merosot.
PAAK PAAK PAAK KRUUUUUUR. Burung elang itu siap untuk terbang. Kedua sayapnya sudah terbuka lebar.
“Ryuu… tolong aku,” nada Lulu semakin ketakutan. Hanya sekitar empat meter lagi, ia jatuh menimpa sosok itu. Lebih tepatnya, sosok itu adalah… harimau! Ryu masih mengamati harimau di
bawah Lulu. Binatang yang merasa tertantang oleh seekor burung itu, tak mau kalah. Kuku-kuku tajam di jejari ke empat kakinya terhunus tajam. Ekornya menggeliat ke atas. Sorot matanya berubah lebih tajam.
GHEEEERRR GRAAAW GRAAAW!!!
Tampaknya harimau itu lebih marah. Kemudian…
WUUUUSSS. Burung itu terbang menukik dan menerjang sang harimau dengan paruhnya. Tidak terima dengan serangan sang burung elang, harimau itu melambaikan ekornya dengan kekuatan besar dan mengenai sayap kanan sang burung. Tak mau kalah, wajah harimau itu berhasil tergores paruh burung elang yang terbang tinggi setelahnya. Harimau itu semakin marah. Mengejar sang burung yang terbang menjauhi “sang jantung hutan”.
Segera Ryu melepaskan genggamannya, meluncur ke bawah dengan cepat, setelah itu berdiri di bawah Lulu. Memastikan bahwa burung elang itu telah menggiring harimau menjauhi “sang jantung hutan”.
“Hey! Cepatlah turun. Pelan-pelan saja agar aku bisa menangkapmu,” Ryu menyuruh Lulu turun sembari memperhatikan pohon beringin, “sang jantung hutan” itu. Seperti ada kekuatan yang melindungi dirinya dan Lulu.
“Aku pikir, aku akan dimakan harimau itu. Tapi, Ryu, kenapa tadi kamu begitu tenang?”
“Ada suatu kekuatan di pohon ini. Aku merasa ada kisah tersembunyi tentang pohon ini”
“Tentu saja!”
“Maksud kamu apa?” Tanpa sengaja, Ryu melihat seorang kakek tua renta yang seluruh bagian rambutnya memutih. Kakek itu berjalan ke arah Ryu dengan tongkat kayu yang begitu sederhana. Kakek itu tersenyum, lalu berbelok, dan menghilang. Ryu mencoba untuk mencari kakek tersebut. Namun sia-sia.
“Kenapa kamu berputar Ryu?” Lulu sudah di ujung untaian akar.
“Oh… engga apa-apa kok. Sudahlah. Cepat turun ke atas punggungku”
***
Pohon besar yang diselubungi lumut di salah satu sisi menjadi penunjuk arah bagi Ryu yang menggendong Lulu di punggungnya. Ia terus menapakkan kakinya yang keletihan. Dipandangnya jalan setapak yang sedang ditelusuri. Sebatang cabang pohon yang jatuh terpatah. Warna kecoklatannya. Daun kering yang lebar. Ya, Ryu tahu kalau cabang pohon yang dipungutnya berasal dari pohon jati. Perlahan muncul hasrat untuk membuat sepasang gelang dari cabang tersebut. Untuknya dan untuk Lulu.
Langit mulai disirami warna oranye. Segerombol burung mendarat di beberapa cabang pohon. Membawa beberapa biji-bijian yang bisa dimakan oleh burung-burung muda dan kecil yang tersembunyi di balik sarang. Ryu dan Lulu sudah berhasil keluar dari hutan. Tinggal menapaki bukit. Lulu masih saja melingkari dada sobatnya dengan kedua tangannya yang putih dan kurus.
“Ryu… kalungku tidak ada,” katanya membisik di telinga Ryu.
“Yang benar?” Ryu memastikan
“Iya. Pasti terlepas saat aku jatuh. Bagaimana ini? Kita engga mungkin nyari malem-malem kan?”
“Ya sudah. Besok aku carikan”
Walau sudah kelelahan, Ryu masih sanggup menggendong Lulu sampai ke teras rumah Lulu. Seusai meneguk segelas air yang disuguhkan Lulu, ia bergegas pulang ke rumahnya. Tak berapa lama kemudian, adzan Maghrib berkumandang.
***
Sinar ultraviolet bersinar ramah di desa Sembiring. Bunga-bunga yang mekar terlihat lebih sempurna. Aaah… tidak ada yang bisa lebih sempurna dari ciptaan Allah. Ryu sudah menemukan kalung sobatnya. Kalung yang didapat dari nenek yang begitu Lulu sayangi. Di kantong celananya tersimpan gelang yang ia buat dengan sedikit bantuan dari Papanya. Tali gelang yang terbuat dari kulit sapi, menyangga ornamen bunga dandelion dengan panah di bagian atas bunga. Ornamennya tidak terlalu besar ataupun kecil. Ornamen itu punya dua bagian. Lebih tepatnya, bisa dibuka tutup. Kalau tutup ornamennya dibuka, ada tulisan yang diukir. RYULU. Dengan senang hati, ia mengajak Lulu ke atas bukit. Hanya saja, Lulu sedikit aneh. Tergambar kekhawatiran dari parasnya. Ia menyembunyikan sesuatu dari Ryu. Usai menceritakan legenda “sang jantung hutan” ia berencana menyampaikan satu hal pada Ryu.
“Jadi begitu. Pantas saja aku melihat seorang kakek”
“Ryu, kemarin kamu janji mencari kalungku. Sudah ketemu belum?”
“Oh… iya kalung. Ini”
Ia juga memberikan gelang buatannya. Lulu bisa melihat ukiran nama setelah membuka tutup ornamennya.
RYULU? Apa itu?” Tanya Lulu
RYULU… Ryu dan Lulu. Cepat dipakai”
Lulu terdiam sejenak, “Ryu … tetaplah menjadi sobat terbaikku walaupun nanti kita terpisah”
“Terpisah? Memangnya kita bisa dipisahkan?” Ryu bergurau.
“Ryu… a… aku… akan pindah ke kota tiga hari lagi”
“Maksud kamu? Pindah rumah?”
Desiran angin merusak suasana di atas bukit saat itu. Membuat Ryu tak bisa berkata apa-apa.


To Be Continued…

Senin, 27 Agustus 2012

She's Change bab 4

“Lulu? Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ryu yang duduk bersama Lulu. Di atas bukit, di balik desa, tempat tersimpan banyak kenangan. Terbangun dengan terkejut, Lulu mengakhiri menyandarkan kepalanya pada bahu Ryu. Ia menatap Ryu. Meneliti sosok Ryu yang berada di sampingnya. Apakah ini mimpi? Apakah sosok Ryu yang berada di sampingku sungguhan? Bukankah yang berada di samping diriku adalah Gani? Ia bertanya-tanya hati. Tapi, jika hal itu memang nyata, ia begitu senang. Sangat senang.
Ia peluk erat-erat sosok Ryu. Ia pikir, ia tidak akan bisa bertemu dengan Ryu lagi. Apalagi kalau mengingat kejadian yang menimpa dirinya beberapa saat yang lalu.
“Aku baik-baik saja. Sangat baik, karena akhirnya kita bertemmu lagi,” jawabnya begitu bahagia.
Tapi ada yang aneh dari Ryu. Banyak pertanyaan yang enggan ia jawab jika Lulu bertanya. Senyuman. Ia akan membalas dengan senyuman setiap pertanyaan yang enggan ia jawab.
“Lu… jaga dirimu baik-baik ya,” Ryu begitu lembut. Senyuman Ryu menghanyutkan kekhawatiran Lulu.
KRAK! KRAAK! DRRRT DRRT
Ada retakan di tanah antara mereka! Lulu menjadi pucat pasi. Retakan itu semakin terpecah. Memisahkannya dengan Ryu. Panic. Keadaan memaksanya berdiri. Terperangah melihat Ryu tersenyum seperti biasa. Tidak ada kepanikan sedikit pun dari paras Ryu. Sementara itu, lempengan bumi yang menjadi pijakan Lulu terus bergerak menjauh. Air matanya membasahi pipinya yang semerah buah tomat karena tidak bisa lagi ia tahan. Ryu! Ryu! Begitu teriakan dalam hatinya. Sayang, teriakan itu tidak terdengar Ryu. Tiba-tiba saja, sekeliling Lulu menjadi gelap gulita. Jalannya mengendap-endap untuk mencari jalan keluar. Matanya tidak bisa melihat apa pun. Terlalu gelap. Hitam pekat.
“KYAAAAAA!”
Perasaan tak menentu beradu di hati Lulu. Kesempatan bertemu Ryu malah terpisah kembali. Mencari jalan keluar. Malah terperosok ke dalam lubang yang sempit, gelap, dan engap. Tangisannya tak bisa didengar oleh siapa pun. Sekali pun ia sudah menangis sekencang-kencangnya. Toh, pada akhirnya ia hanya menangis di tengah kegelapan.
***
Detak jantungnya! Detak jantungnya terus melemah. Tim medis pun memutuskan untuk melakukan kejut jantung. Memindahkan dirinya ke ruangan yang lain. Satu. Dua. Tiga. Dadanya termagnet sesaat lalu terlepas lagi. Satu. Dua. Tiga! Hal itu terus dilakukan hingga detak jantungnya kembali normal. Nasehat yang bisa ia dengar hanya, “harus banyak istirahat”. Tak bisa! Kelopak matanya tak bisa ia paksa agar tebuka. Nyeri menjalar di seluruh tubuhnya. Lagi! Hanya bisa menangis tanpa ada yang mendengar. Lelah. Menggoda jasmani dan rohaninya untuk beristirahat. Dari segala kesedihan, kekhawatiran, dan kesakitan.
***
PIP… PIP… PIP… PIP…
Papa, Mama, dan ka Firza menunggu raga Lulu di dalam kamar. Papa sibuk berbisik-bisik dengan dokter. Mama mengelus-elus kening Lulu dengan lembut. Mamanya berusaha tegar. Bayangkan! Betapa pedihnya seorang ibu melihat anaknya terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuh. Tungkai kaki kanan Lulu dibidai karena tulang keringnya patah. Wajahnya juga tertimpa ala bantu napas. Vivi malah memuta-mutar kedua jari telunjuknya. Ina, Rizki, dan Gani tak bersuara sedikit pun. Rafli kelimpungan di depan pintu kamar.
“Lulu… kamu harus sadar. Yakinkan hatimu kalau semua akan baik-baik saja,” katanya seperti cacing kepanasan.
“All is well Lu,” lanjutnya.
“Kami akan ada bersama kamu…
“Bahkan kalau perlu, akan kucarikan Ryu untukmu”
Rafli terus berucap. Berharrap semua ucapannya tersampaikan pada Lulu yang diam terbaring di dalam kamar. Ka Firza mencoba berbincang dengan Lulu. Tapi tetap saja, Lulu terus diam tertidur. Tak bergerak. Atau sekedar membuka kedua matanya.
Gani tidak mempedulikan kaos putihnya yang kotor, yang merusak penampilannya. Tampak seperti gembel. Noda darah, coklat kehitaman tanah bercampur sempurna dengan serpihan daun kering menghias abstrak penampilannya. Bunyi alat pemantau detak jantung mengganggu telinga seluruh orang yang menyayangi Lulu di dalam ruangan. Rafli berubah merutuki dirinya, melihat tidak ada reaksi apa pun dari Lulu. Ia marah, sedih, dan khawatir. Usai berbincang dengan Papa, dokter keluar kamar dan melihat Rafli yang berkeringat dingin. Dokter itu tersenyum ramah padanya. Berjalan cepat ke arahnya, kemudian menyergap bahu Rafli.
“Tidak apa-apa. Gadis di dalam sana akan baik-baik saja,” ssetelah itu dokter pergi melewati lorong koridor rumah sakit dengan ekspresi bersimpati. Dan Rafli sempat melihat ekspresi beliau walau sesaat.
“Pasti ada yang disembunyikan oleh dokter tadi. Tapi tentang apa?” Rafli begitu yakin dengan argumennya.
***
Mungkin langit di angkasa turut bersedih. Awan hitam mengulung-gulung di langit. Menyekap langit petang. Awalnya hanya awan hitam pekat di langit. Tapi, setelah ikut nimbrung, suasana langit petang menyirnakan banyak harapan manusia.
Petang berganti malam. Begitu juga kilat. Kilat berganti rintik hujan. Lambat laun malam semakin larut. Rintikan hujan berganti hujan badai. Ina, Rizki, dan Rafli sudah pulang ke rumah mereka. Gani mengintip langit malam dari balik tirai jendela. Hujan begitu deras. Badai berkali-kali menjilati gedung-gendung bertingkat dan pohon-pohon kekar yang menjulang. Air mengalir di kaca jendela luar. Dengan bintik-bintik air akibat terpercik benda-benda di sekitar. Tubuhnya jadi bergidik kedinginan. Hawa dingin menerobos masuk lewat kaca jendela. Lalu tirai itu ditutup agar hawa dingin terserap kain tirai.
“Dasar. Bukannya pulang,” kata Gani pelan dengan desahan, melihat Vivi tertidur di sofa. Dilepasnya jaket hitam bergaris pinggir merah untuk menyelimuti tubuh Vivi. Kemudian duduk dan menyenderkan kepala Vivi ke bahunya. Papa dan mama Lulu pulang ke rumah. Papanya akan dinas selama seminggu di Tanggerang. Sementara mamanya, akan kembali ke rumah sakit membawa beberapa pasang baju ganti. Ka Firza tertidur di kursi sembari menghangatkan tangan Lulu. Semoga Lulu di sana merasa hangat dan nyaman, serta tidak merasa kesepian. Begitu harapannya.
***
Sudah tidak bisa! Persedian air matanya sudah habis. Setetes pun. Ia berusaha memanggil semua orang yang ia sayangi hingga suaranya serak. Kegelapan. Secercah cahaya pun tidak ada. Yang ada malam sepanjang waktu.
“Papa… mama…” Panggilnya serak.
“Ka Firza…
“Ryu… Vivi… Gani…
“Ina… Rizki… Rafli…
“Siapapun! Bantu aku keluar dari sini,” katanya dengan kepala menengadah dan memukul-mukul batasan ruang.
Namun sia-sia saja. Tidak ada yang datang. Kesepian dan ketakutan menyatu dalam dirinya di dalam ruang hampa. Menunggu seseorang datang. Seketika saja, tangan kirinya menghangat. Seperti pertanda kalau ada orang yang menunggunya dengan penuh harap. Kantung matanya yang sembap mengatup-ngatup beberapa kali. Dan akhirnya menutup beristirahat dengan kehangatan di tangan kiri.
***
Waktu terus berputar ke masa depan. Tetapi, tidak untuk Lulu. Suhu tubuhnya masih hangat. Sayangnya, tak sedikit pun raganya bergerak. Rafli merasa bersalah setelah melihat keadaan Lulu selama beberapa hari. Secara diam-diam ia mencari alamat kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia ingin Ryu menjenguk sobat kecilnya dulu. Setidaknya meminta Ryu untuk mebisikkan kalimat-kalimat semangat di salah satu telinga Lulu. Agar Lulu cepat tersadar dari tidurnya.
Memang tidak mudah untuk mencari keberadaan Ryu. Untung saja motor yang ia kendarai dari Pondokgede ke Tanggerang Selatan bukan motor “ecek-ecek”. Butuh pengorbanan yang banyak untuk menemukan keberadaan Ryu. Usahanya tidak sia-sia! Selalu adajalan jika ada kemauan. Setiba di depan pagar rumah keluarga Ryu, cepat-cepat ia mematikan mesin motornya dan turun untuk menekan tombol bel.
“ADA TAMU! ADA TAMU! ADA TAMU!”
Bunyi belnya tidak lazim. Setelah beberapa saat menunggu, seorang anak laki-laki berperawakan tinggi membuka pintu pagar. Rafli meneliti dalam-dalam paras anak laki-laki itu. Berkulit putih, bermata sipit, berambut coklat, mengenakan kacamata baca, dan gelang kulit berornamen di pergelangan tangan kanannya.
“Ryu Hisaki?” Nadanya bertanya agak ragu.
“Ya. Benar. Ada urusan apa ya?”
Pagar rumahnya semakin terbuka lebar.
“Aku Rafli, teman dari Lulu Ariana. Ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu”
“Oh. Begitu… kalau begitu silakan masuk. Motornya juga dimasukkan ke taman rumah saja.”
Mungkin Rafli sudah kelelahan mengendarai. Tubuh gempal yang ia miliki membuatnya terengah-engah ketika memasukkan motornya ke taman rumah Ryu. Walau hanya sekilas, ia melihat Echa. Adik perempuan Ryu.
“Manis sekali,” katanya tanpa sadar.
“Eh?” Ryu melihat arah pandangan mata Rafli.
“Oh… dia itu Echa Hisaki. Adik aku,” jelas Ryu yang memergoki mata Rafli yang mengamati Echa. Dengan senyum simpulnya yang khas.
Kemudian Ryu mengajak Rafli masuk ke dalam ruang tamu. Ukuran ruang tamunya memang tidak luas, tapi desain interiornya menyulap ruang tamu itu terlihat lebih besar dari ukuran yang sebenarnya. Sembari Rafli meneliti ruang tamu rumahnya, Ryu menyiapkan sekaleng bikuit, dua gelas kaca yang terisi penuh, dan teko berdesain yang juga terisi penuh. Begitu dipersilakan Ryu untuk minum, Rafli meneguk habis air di gelas dalam tiga tergukan.
“Jadi, ada urusan penting apa?” Ryu mempercepat perbincangan.
“Aku ke sinin mau minta bantuan sama kamu untuk Lulu”
‘Lho? Memang Lulu kenapa? Sampai memerlukan bantuanku?” Ryu mulai khawatir mengingat figura foto yang jatuh. Lengkap dengan ingatan posisi pecahan kaca figura itu. Lalu…
CKLEK. Tampaknya seseorang masuk ke dalam rumah. Ryu pikir yang masuk adalah karyawan perusahaan Ayahnya. Jadi Ryu bersikap acuh.
“Sebenarnya Lulu… ia… ia… belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ia terus saja tertidur di ranjang pasien di rumah sakit”
Tersentak. Berusaha keras Ryu menyembunyikan ekspresi itu. Berpura-pura tetap tenang seperti biasanya. Meneguk sekali air putih di gelas kaca agar irama pernapasannya tetap stabil.
“Lalu? Bantuan seperti apa yang kamu inginkan?”
‘Datanglah untuk menjenguknya. Berikan ia semangat. Berjanjilah padanya kalau kamu akan sering-sering bersamanya,” pintanya begitu lancar.
Ryu tidak bergeming. Tatapan matanya bak seorang yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Mendapati reaksi Ryu yang tidak bergeming, Rafli menjelaskan awal kecelakaan yang dialami Lulu. Dari keberangkatan ke kaki gunung, duduk melingkar, rintikan hujan, serangan burung gagak, hingga yang terakhir, saat Lulu jatuh terperosok ke lereng gunung. Cerita Rafli membuat Ryu shock. Ia baru paham, kalau jatuhnya figura foto itu sebagai pertanda. Pertanda kalau terjadi bahaya pada Lulu. Seharusnya aku menyadari hal itu dari awal. Dasar payah. Sesalnya dalam hati.
BRUUUUUSS
Paperbag belanjaan Umi jatuh. Tomat merah jatuh bergelundung di lantai ruang tamu. Sontak Ryu memalingkan pandangannya ke arah Umi, lalu memandangi tomat yang bergoyang-goyang selagi mencari keseimbangan. Echa mendengar suara khas paperbag yang jatuh dan segera berlari ke ruang tamu.
“Umi… Umi kenapa? Paperbag belanjaan Umi jatuh,” Tanya Echa sambil membereskan sayuran yang jatuh tercecer.
“Abang. Umi kenapa? Kenapa belanjaannya dijatuhin sama Umi?” Echa mengalihkan pertanyaannya pada Ryu. Ryu segera bergeming.
“Oh… tidak apa-apa kok Cha. Belanjaan Umi jatuh karena tangan Umi kelelahan. Mendingan Echa bantuin Umi bawa belanjaan ke dapur. Abang lagi ada tamu”
Echa mengangguk paham.
***
Hampir sepekan Lulu terus tertidur. Ina dan rizki tidak bisa mengunjungi Lulu sebab mereka harus menyerahkan beberapa dokumen nilai untuk keperluan mendaftar di SMA. Kalau Rafli, Gani, dan Vivi sudah mendaftar lebih dulu. Memang benarkan? Lebih cepat lebih baik. Rafli terus memandangi jam tangannya. Menghitung jumlah waktu yang telah terlewat. Vivi dating dengan seikat bunga bakung. Lengkap dengan vas melaminenya. Gani datang tepat di belakang Vivi. Mama membantu Vivi dengan mengisikan air ke vas bunga sebagai tanda terima kasih.
“Satu… dua… tiga…- Vivi menghitung setiap tangkai bunga yang ia masukkan ke dalam vas.
“Empat… lima…” ia berhenti menghitung. Berbalik ke arah Gani yang berdiri di belakangnya.
“Lihat! Bunganya cantik’kan? Ayo masukkan kedua bunga ini ke dalam vas,” ia menyodorkan dua tangkai bunga ke wajah Gani. Dekat dengan hidung Gani. Ia sih berniat baik mau memasukkan kedua bunga itu, tapi sayangnya, bukannya ia memasukkan kedua bunga itu, yang ada, kedua bahunya terangkat dan kemudian…
HAAATTSSSSSIIIIH
Kepala Gani merontokkan semua kelopak bunga bakung. Vivi shock. Wajah pelongonya tersirat jelas. Disusul dengan siratan kecewa. Setelah itu Vivi menyalahkan Gani. Gani juga tidak mau disalahkan begitu saj. Ia berdalih dengan mengungkap kelemahannya. Ia berdalih kalau ia alergi terhadap bunga. Alergi terhadap bunga! Sungguh konyol. Gerutu Vivi. Pada akhirnya perkelebatan di antara mereka tidak bisa dipisahkan lagi. Perkelebatan yang sering terjadi.
***
Paras Rafli terlihat –harap cemas-. Menunggu kedatangan seseorang. Ryu. Kemarin, sebelum berpamitan, ia belum mendapatkan jawaban dari Ryu. Atau sebuah kepastian dari Ryu. Saat ia mendapati kesedihan di mata Ryu, Ryu tidak bicara sepatah kata pun. Hanya membuka pagar rumah. Walau pun Rafli berusaha memohon padanya, tetap saja, ia tidak bergeming. Hanya ketidakpastian yang Rafli dapat setelah ia melajukan motornya kembali ke Pondokgede.

She's Change bab 3(New Version)

Waktu memang tidak pernah berdusta
Tak seorang pun bisa…
Untuk menepis putaran waktu
Janganlah mengutuk masa lalu…
Bangkit!
Berjuanglah untuk masa depan.


Tiga bulan sekali, Ryu mengeposkan kehidupan-kehidupan di desa Sembiring kepada Lulu. Kebetulan hari itu adalah hari kelahiran Lulu. Jadi pos keduapuluhnya itu ditemani oleh paket kotak yang terbungkus cantik. Desa telah berubah pesat. Perpustakaan desa, puskesmas, warung makan, butik, took buku, salon, gedung SD,SMP, dan SMA. Banyak yang telah berubah. Walaupun sudah banyak yang berubah, tetapi hutan di belakang bukit tetap terjaga. Masyarakat di desa juga sudah lebih mapan. Tidak hanya anak-anak yang semangat belajar, orang dewasa juga belajar. Untuk menambah wawasan dan ilmu. Memang benar’kan? Mencari ilmu itu tidak dibatasi oleh umur. Rasanya, desa sebentar lagi akan berubah menjadi negeri Utopia. Negeri impian semua orang. Negeri di mana semua orang merasakan kedamaian. Tidak ada pertikaian. Tidak ada pertumpah darahan. Meski pun setiap warga memiliki pendapatnya masing-masing.
***
“Lulu… teman-teman kamu sudah datang tuh. Cepat turun sayang,” Mama mengingatkan Lulu yang sudah berjanji untuk mendaki gunung bersama teman-teman SMPnya. “Sebagai kenang-kenangan kalau kita pernah berteman baik,” kata Lulu saat menghasut kelima teman baiknya. Disimpannya baik-baik kado dari Ryu. Biasanya ia meletakkann kado dari Ryu di kotak khusus yang ada di dalam lemari bajunya. Tapi kali ini berbeda. Ia letakkan di samping foto –yang diambil lima tahun yang lalu-.
Segera Lulu turun ke tingkat bawah rumahnya. Rambutnya yang dikucir bergelayutan dan menampar-nampar bahu kanannya. Senyuman ceria diterbarnya untuk menutupi rasa khawatir yang mendadak ia rasakan dari teman-temannya.
“Lama banget sih,” protes Ina, orang pertama yang berkenalan pertama kali dengannya ketika ia baru pindah ke sekolah yang baru.
“Kayak kamu engga kenal dia aja Na,” Rizki mengingatkan Ina.
“Ehm... udah. Cepetan. Kebiasaan ‘putri solo’nya jangan dibawa-bawa” Gani meledek sambil berbalik ke arah pintu.
“Maksudnya putri solo opo toh?” Vivi bingung dengan ucapan Gani pada Lulu.
“Kenapa aku ndak boleh dibawa-bawa? Emang aku salah opo toh? Sampe segitunya sama aku,” lanjutnya.
“Memangnya siapa yang melarang bawa kamu pergi?” Gani malah ikut-ikutan bingung.
“Iya toh. Tadi kamu bilang kebiasaan putri solonya jangan dibawa-bawa. Kenapa aku ndak boleh dibawa toh?”
“Lho? Iya, aku emang bicara seperti itu. Tapi ga ngelarang siapa-siapa kok”
“Iiiiih… kamu itu nyebelin ya. Aku emang putri solo. Tapi kenapa aku ndak boleh dibawa-bawa? Aku punya salah opo ke kamu? Sampe kamu sejahat itu.”
Ina, Rizki, dan Gani saling berpandangan. Tidak mengerti akan tanggapan dari Vivi.
“Oh, gue ngerti. Vivi ngambek gara-gara perkataan lo, Gani,” Rafli mulai membuka jalan pemecahan kesalahpahaman yang terjadi.
“Lho? Kok aku? Kenapa gara-gara aku?”
“Iya Raf. Kenapa jadi salahnya Gani? Dia’kan engga ngapa-ngapain Vivi. Jangan menyalahkan Gani dong,” Rizki membela Gani.
Sembari menuruni tangga, Lulu tersenyum-senyum sendiri. Ia sangat mengerti yang terjadi dengan protesnya Vivi. Ia tahu kalau kata ‘putri solo’ itu tujukan untuknya. Untuk mengejeknya. Bukan untuk Vivi.
“Makanya Gani, kalau mau mengatai aku ‘putri solo’ jangan di depan Vivi,” Lulu sudah berada di anak tangga terbawah.
“Lho? Memangnya kenapa? Kamu memang ‘putri solo’ kan?”
“Bukan gitu Gani. Kamu lupa? Vivi itu lahir di Solo. Masih ada keturunan keratonnya,” Rafli memperjelas.
“Beneran?” Kini Gani memandangi Vivi. Tak percaya dan tak menyangka.
Ina dan Rizki menyusul sambil mengangguk-angguk paham. Sementara itu Vivi yang merasa kalau dirinya baru saja menjadi pusat perhatian, bertanya dengan begitu polos.
“Kok aku jadi dipandangi gini toh? Ada yang salah ya?”
“Udah, udah… mending kita berangkat aja. Ayo Vi, kita berangkat. Yang tadi, sebaiknya tidak dipikirkan serius,” ajak Lulu.
“Nje, aku paham”
***
Baru beberapa meter mendaki gunung, Rafli sudah kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. Remaja bertubuh gempal itu memang mudah lelah. Ia sudah tertinggal jauh dari teman-temannya. Untung saja, Lulu berada di depannya dalam barisan. Jadi ia berteriakk memanggil Lulu. Kemudian meminta waktu untuk beristirahat. Gani, pemimpin selama pendakian menyuruh agar yang lainnya duduk melingkar. Seperti yang dilakukan para sahabat nabi dalam berdiskusi. Dan, menurut Gani, supaya terasa seperti keluarga. Rafli dan Rizki duduk bersampingan dengan Gani. Ina duduk di samping Rizki. Diikuti oleh Vivi. Dan yang terakhir adalah tempat Lulu. Rafli sedang menikmati makanannya. Gani dan Vivi sibuk berdebat. Sementara Lulu, ia terus engamati gelang yang sering melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia membuka tutup ornamen dari gelang itu. Masih tertera jelas. Ukiran nama di baliknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Mengingatkannya pada Ryu. Sobat terbaiknya di desa. Mungkin, sudah lima tahun ia tidak bertemu Ryu. Hanya bisa berkirim surat. Sbab, ia belum diizinkan memiliki ponsel.
RYULU? Apa itu? Nama artis? Nama merek?” Tanya Ina yang ikut melihat ukiran di ornamen gelangnya.
“Bukan,” jawabnya sambil mengerjapakan mata agar tidak keluar airmata.
“Terus apa dong? Gelang itu kayaknya penting banget buat kamu”
RYULU itu nama singkatan dari Ryu dan Lulu. Benar’kan?” Jawab Rafli agak ragu.
“Siapa itu Ryu? Pacar kamu?” Suara Ina agak keras. Sehingga yang lain jadi berfokus menunggu jawaban Lulu.
“Bukan ko. Dia itu sobat terbaikku di desa,” lalu ia menghela napas panjang beberapa saat.
“Kalau Ryu kamu anggep sobat. Terus, kita dianggep opo toh?” Tanya Vivi polos.
“Kalian semua sobat aku juga”
“Ayo ceritakan tentang dirinya pada kami semua,” pinta Ina.
Lulu mulai bercerita, awal dirinya dan Ryu bertemu, menjadi teman, lalu menjadi sobat baik. Saat mereka belajar bersama, bermain bersama, bolos bersama, dan kejadian yang paling berharga. Saat ia berada di hutan bersama Ryu karena menginginkan kelinci hutan. Saat ia harus bersembunyi dari harimau dengan memanjat untaian akar pohon beringin. Matanya berkaca-kaca lagi. Dalam sekejap, suasana berubah sunyi. Deru desiran angina semakin terdengar. Persis seperti desiran angin lima tahun lalu. Saat ia memberitahu kepindahannya ke kota pada Ryu. Rasa khawatir dalam jiwanya mencuat kembali. Menggoyahkan keberaniannya.
“Huuufh… ya. Istirahatnya udahan dulu. Kita lanjut mendaki ke atas,” Gani membuyarkan suasana sunyi.
“Hem. Betul. Ayo Na, bangun. Jangan duduk terus,” Rizki mengulurkan tangannya. Membantu Ina untuk berdiri.
Lulu membantu Rafli yang kesulitan berdiri karena badan gempalnya. Gani berbalik ke arah Lulu. Ingin mengingatkan sekaligus mengejek Lulu.
“Ayo cepat. Jangan pake acara putri so…”
Gani melirik ke arah Vivi. Teringat kejadian tadi pagi. Padahal Lulu dan Rafli sudah siap memperhatikannya.
“Ga… ga jadi deh. Langsung jalan aja”
***
Warna abu-abu menimpa warna cerah di langit dengan paksa. Bak seorang yang tak sabar menunggu karena telah menunggu untuk waktu yang panjang. Suara gemuruh yang beradu menemani warna abu-abu di langit. Membuat langit semakin gelap. Gani, Vivi, Rizki, Ina, dan Lulu serta Rafli harus mendaki lereng yang agak sulit. Banyak bebatuan yang disinggahi lumut. Dengan jalan setapak yang ada! Mereka terus mendaki. Harus berhati-hati. Bisa-bisa jatuh ke dalam lereng ke sisi yang satunya. Lereng yang dipenuhi semak belukar, akar-akar pohon tua yang mencuat, dan ranting-ranting kering serta dedaunan kering yang tersebar tak menentu. Di luar perkiraan, rintik-rintik air hujan jatuh ke dataran Jawa Barat. Jalan setapak jadi licin. Tentu! Lebih berbahaya dari sebelumnya.
“Mbok e… aku sayang mbok…” kata Vivi kaget karena terpeleset dan nyaris jatuh ke lereng. Beruntungnya, Gani segera meraih lengannya. Dan meyelamatkan Vivi yang matanya sudah terpejam pasrah. Tiba-tiba saja…
WUUUSS!!!
Seekor burung gagak menyerang Ina. Ina masih berhasil mengelak untuk yang pertama kali dari serangan burung tersebut. Tak hanya Ina, Rafli pun turut jadi serangan. Adanya gerakan dari pemberontakan yang dilakukan Ina dan Rafli mengganggu Lulu. Jilbab Ina beberapa kali menampar wajah Lulu.Menganggu konsentrasinya. Rizki mencoba mengusir burung itu dengan mengibas-ngibas selembar kain putih yang diikat ke sebuah patahan cabang pohon. Ina menjerit ketakutan karena terus diserang burung gagak. Bukannya dapat mengusir burung gagak itu, usaha Rizki malah memperkeruh suasana. Suasana tambah lebih panik. Sedangkan tubuh gempal Rafli menyempitkan ruang lingkup gerak Lulu. Akibat dari usaha Rizki, burung gagak itu terbang ke atas kemudian menukik tajam menyerang Rafli. Melenyapkan konsentrasi Rafli menjaga keseimbangan badannya. Lalu…
DUUUKK! Lulu terhempas karena bertabrakan dengan ransel Rafli.
“Ryuuuuuu…” Lulu masuk ke dalam lereng! Kuciran rambutnya terlepas.
SRAK! SRAK! KRAK! SRAK! SRAK! KRAK! DAAK! Tidak ada kesempatan bagi Lulu untuk melihat seberapa dalam dirinya terjatuh. Sementara hujan mulai berkecamuk deras. Vivi hanya mematung. Menyaksikan temannya terperosok dan terbentur batu di pedalaman lereng. Cepat-cepat Gani mengeluarkan tambang dari dalam ransel. Memilih batang pohon yang kekar. Dan membuat simpul tiang di sisi pohon dan simpul hidup di sisi tubuhnya.
“Rizki. Bakarlah sesuatu kalau hujan udah berhenti. Usahakan membakar dalam jumlah banyak. Kumpulkan saja cabang-cabang pohon,” katanya sigap.
“Oke Gani.”
“Vivi… kamu… cepat cari tempat berteduh. Jangan turun ke bawah sini. Tinggallah sampai hujan berhenti. Oh iya, Ina! Rafli! Cobalah untuk menenangkan diri. Oke?”
“Terus, kamu bagaimana Gani?” Tanya Vivi khawatir.
Tersenyum simpul. Itulah yang dilakukan Gani kalau sudah serius dan tidak ingin orang lain khawatir.
“Nanti aku menyusul Vi,” kemudian Gani turun dengan hati-hati untuk menyelamatkan Lulu. Dipergelangan tangannya terikat tali tambang. Dari simpul yang lain yang ia buat.
***
PRAAK!
Sebuah figura foto terjatuh dari meja kecil yang ada di samping ranjang tidur Ryu. Di kamar Ryu. Di kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia menutup halaman novel Ranah 3 Warna yang sedang ia baca. Diambilnya figura foto itu. Kacanya pecah. Membuat foto usang di dalamnya terlihat menyedihkan. Ia pandangi foto dalam figura itu. Gambar seorang anak perempuan berambut panjang dengan ikat rambut berbandul strawberry berpadu manis dengan dress dan kalung berbandul chibi membuat dadanya sesak. Apalagi melihat ujung-ujung dari pecahan kaca di sekita gambar anak perempuan tersebut.
“Abang Ryu… kalau kita pindah rumah. Terus gimana cara mba Lulu bales pos dari abang?” Tanya Echa yang masuk sembarangan ke kamar Ryu dengan tergesa-gesa.
“Kan bisa dilihat dari alamat pengirimnya Cha,” Ryu merangkul Echa lalu duduk di atas ranjang tidur. Sementara, tangan kanannya memegangi figura foto yang pecah. Pecahan kaca berkilat-kilat di mata Echa akibat serangan sinar matahari yang menerobos masuk ke kamar Ryu. Ia penasaran dengan benda yang baru saja berkilat-kilat di matanya. Begitu sadar, kalau benda yang dipungutnya adalah pecahan kaca. Ia tahu kalau figura yang dipegang kakaknya sudah pecah.
“Abang… figuranya kenapa pecah?”
“Abang juga ga tau Cha. Tiba-tiba aja pecah”
“Yaaah… abang… bukannya fotonya begitu berarti buat abang?”
“Gampang Cha. Kan bisa beli figura yang baru. Bisa langsung diganti”
“Oh iya ya…”
Ayah Ryu sudah memiliki toko meuble yang lebih besar. Dan bekerjasama dengan beberapa perusahaan ternama di Jakarta untuk produk furniture. Juga mempekerjakan lima belas karyawan. Semua bentuk dan model furniture adalah desain ayahnya. Jadi Ryu juga belajar membuat furniture dari ayahnya. Keluarga Ryu sudah tidak tinggal di desa. Ekonomi keluarganya membaik. Kemudian ayah Ryu memutuskan untuk pindah rumah ke kota. Pindah karena kepentingan bisnis. Rumah yang lebih nyaman. Dengan dua tingkatan, garasi, dan taman yang luas. Ryu terus memandangi foto di figura, semakin resah jiwanya. Semakin pula sesak yang ia rasakan. Pasalnya, pecahan itu menyelubung di bagian Lulu.
“Ryu! Echa! Cepat turun. Kalian harus daftar ke sekolah yang baru,” Mama berteriak dari tingkat bawah.
Echa segera berlari keluar dengan tas gendong merah berpitanya. Ryu menyusul dengan santai. Memandangi figura yang ia taruh di atas ranjang. Benar! Masalahnya bukan figura yang bisa diganti dengan mudah! Namun sesak yang ia rasakan terhadap foto Lulu. Tetapi, ia kembali lagi. Memasukkan figura tersebut ke dalam tasnya. Berharap sesak yang dirasakannya tidak berhubungan apa pun dengan Lulu. Mama membawa berkas yang diperlukan oleh Ryu dan Echa. Sebab, Echa akan didaftarkan ke kelas empat SD. Sedangkan Ryu, ia akan didaftarkan ke SMA.
***
Di tempat lain, di lereng gunung, pendakian benar-benar dihentikan. Gani memeriksa tubuh Lulu. Penuh dengan luka. Pelipis kanan atas, lengan atas, siku, tungkai atas, tungkai bawah. Banyak sekali. Tubuh Lulu terus dialiri oleh darahnya sendiri. Ia tidak pingsan. Hanya tidak mampu bergerak. Dan merasa terlalu lelah. Ketika itu juga, ia mengingat nasihat kakaknya, Firza. Kalau dalam keadaan terluka parah, sebaiknya kita berdzikir. Begitu ia mengingat nasihat kakaknya. Akan tetapi, lidahnya terlalu kelu untuk berdzikir dengan lafadz yang benar. Jadi, dzikirnya hanya terdengar seperti suara gumaman. Tapi ia yakin kalau Allah akan melindunginya.
“Lu… lu… sadar Lu,” terdengar suara Gani yang duduk di sampingnya.
Pandangannya buram ketika ia membuka kelopak matanya. Ia tahu kalau orang yang ada di dekatnya itu Gani. Tapi, sungguh! Orang yang ia harapkan bukan Gani. Melainkan Ryu. Sobat yang begitu ia rindukan. Begitu ngilu rasa sekujur tubuhnya. Ia takut. Banyak hal yang jadi ia takutkan. Salah satunya takut kalau tidak bisa bertemu dengan Ryu untuk selamanya. Jika itu terjadi sungguhan, pasti sedih rasanya. Jika hanya bisa mengamati Ryu dari kejauhan yang tidak bisa dicapai seluruh manusia.
***
To be Continued…


Jumat, 13 Juli 2012

She's Change bab 2


Desiran angin yang berhembus di atas bukit merusk suasana. Ryu terdiam. Berpura-pura masa bodoh. Lulu tampak begitu sedih. Baginya, Ryu, adalah sobat terbaik yang pernah ia punya. Ryu berusaha mencairkan suasana dengan memikirkan apa yang akan ia ucapkan. Mencairkan suasana yang sunyi, hanya kicauan burung yang terdengar dari balik batang pohon.
“Wah bagus dong. Aku engga harus dengerin tangisanmu,” Ryu memandang lurus kea rah desa.
“Iiih… kamu jahat! Kamu jadi nyebelin!” Lulu bangkit dari duduknya, hendak pergi meninggalkan Ryu karena kecewa.
Secepat kilat juga, Ryu meraih pergelangan tangan kiri Lulu. Menahannya.
“Duduk! Mau pergi ke mana?”
“Mau pulang!”
Di sudut bibir Ryu tersirat senyum simpul.
“Kenapa mau pulang? Di sini saja. Nikmati anginnya.”
“Ga mau! Jawaban kamu nyebelin sih!”
“Memang kamu mau jawaban yang seperti apa?”
“Aku pikir kamu akan sedih kalau aku pindah ke kota. Tapi ternyata, kamu malah ga peduli.”
“Baiklah, kalau gitu. Aku sedih. Sangat sedih. Tahu tidak?”
Lulu terdiam dan kembali duduk. Menyadari yang dikatakan Ryu adalah sungguhan. Ia mulai tertawa. Baginya, ucapan Ryu menjadi lucu. Membuat Ryu malu. Terlihat jelas kalau paras Ryu memerah. Merah padam. Kemudian mereka tertawa bersama. Semua kekhawatiran dan kecemasan seperti lenyap di antara mereka. Bebatuan besar di atas bukit dengan kemiringan landai akan menjadi kenangan. Mereka memainkan gelang kulit yang dibuat Ryu. Bertukar tutup ornamen kecil yang menghias gelang kulit. Kemudian berlarian di atas bukit yang asri. Tanpa diminta, kelinci yang pernah dikejar oleh mereka muncul. Mulutnya gempal. Menyimpan beberapa potongan wortel. Kini mereka tidak perlu mengejar kelinci itu. Lulu duduk bersila di atas rerumputan hijau yang tak jauh dari kelinci itu. Semilir angin menyibak wajah dan rambutnya yang diikat dua bagian ke samping. Jiwa Lulu tampak begitu tenang dengan senyumannya bak seorang putri bangsawan Jepang yang sedang menikmati guguran bunga sakura. Kelinci itu mendekati Lulu sambil mengendus-enduskan hidungnya, seperti memastikan kalau mereka manusia yang baik. Setelahnya melompat ke atas pangkuan Lulu. Kelinci itu tidak memberontak ketika berada di pangkuan Lulu. Dibelai lembut-lembut bagian kepala kelinci itu. Parasnya yang cantik berubah sayu.
***
Butiran-butiran embun di atas dedaunan tersorot sinar matahari pagi bak sebuah berlian mahal yang diberikan Cuma-Cuma oleh Allah untuk menghiasi bumi dan memberikan harapan untuk makhluk-makhluk ciptaanNya. Dua mobil losbak dipenuhi oleh barang-barang yang dibawa keluarga Lulu dan beberapa warga yang hilir mudik ke atas losbak mobil. Echa, adik perempuan Ryu menatapi selembar foto terbingkai yang dipegangi Lulu. Echa bingung, bagaimana bisa diri kakaknya berada di atas selembar kertas berwarna putih kecoklatan. Anak perempuan berumur lima tahun itu akhirnya mengajak bermain boneka bersama Lulu.
Sementara Ryu yang duduk di depan teras rumahnya memendangi sobatnya yang akan segera pindah ke kota sembari menjaga adiknya. Selembar foto yang bersarang di tangannya, foto yang baru dibuat olehnya bersama Lulu tempo hari di sebuah studio foto yang tak jauh dari desa mereka. Di bagian belakang foto, ada tulisan tangan yang indah. Goretan pena yang indah bertuliskan petuah.
Friendship will never die
It would be remembered in our life, together
Petuah yang dituliskan oleh mama Lulu. Ryu meyakinkan jiwanya untuk mempercayai petuah itu. Sebab, mereka telah berjanji. Berjanji untuk bertemu lagi di masa depan. Dua mobil losbak telah selesai dibenahi. Deru mesin mobil mewarnai suasana jiwa Ryu. Firza, kakak laki-laki Lulu melambaikan tangan dengan sekali ayun. Laki-laki memang seperti itu bukan? Berusaha terlihat keren. Sambil menggandeng tangan Echa, Ryu membuat simpulan senyum. Merelakan kepergian Lulu.
“Suatu hari nanti, kita akan bertemu di masa depan” katanya pelan.
Begitulah Ryu meyakinkan jiwanya untuk tenang dari perasaan gundahnya.
***


Biological Agent Classification According to the Risk

Class Deskripsi Tipe Agent Contoh Mikroorganisme Class I Mikroorganisme yang digun...