SHE’S CHANGE
“Ryuuu!
Tunggu aku,” Lulu berusaha mengejar sobatnya yang berlari menyusuri
hutan. Mengejar-ngejar kelinci hutan.
“Lulu,
kalau tidak cepat-cepat entar kelincinya keburu jauh,” kaki kurus
Ryu melompat-lompat ringan beberapa kali melewati akar-akar pohon
besar yang menjulang dan melengkung ke atas.
Sementara
Lulu, ia tersandung akar-akar pohon untuk beberapa kali yang bisa
dilewati dengan mudah oleh Ryu. Kalung perak yang terkait berbandul
lempeng chibi anak perempuan yang melingkari lehernya
terayun-ayun akibat gerakannya. Awalnya, ia bisa mengikuti gerakan
Ryu. Tapi, kaki putih langsatnya terlalu gemulai untuk melewati
rumput ilalang yang terasa menusuk-nusuk membuatnya menyerah dan
jatuh tersungkup karena tersandung akar pohon tua dan besar yang
menjalar di atas lapisan tanah. Kalungnya ikut terlempar ke dalam
lubang pohon yang dibuat seekor binatang karena hentakan badan Lulu
yang terjatuh. Lulu mulai menangis terisak. Melihat sobatnya
menangis, Ryu menghentikan langkahnya, membiarkan kelinci sasarannya
pergi ke dalam hutan bagian dalam. Ia menghampiri sobat perempuannya
yang menangis.
Lulu
menundukkan kepalanya. Rambut hitamnya yang lurus panjang terjuntai
ke bawah. Ryu pun berusaha menghiburnya.
“Kamu
ini kenapa? Kan’ kamu sendiri yang mau pelihara kelinci hutan tadi.
Dasar bodoh”
Tangisan
Lulu semakin merajuk menndengar ucapan Ryu.
“Sudah!
Berhenti menangis. Dan cepat berdiri,” ucapan Ryu seolah tidak
peduli akan luka lebam di pergelangan kaki Lulu. Ia berpura-pura
terlihat tenang di hadapan Lulu.
Namun,
Lulu tetap menangis dan tidak mau berdiri. Air matanya terus menangis
dari sudut matanya yang indah.
“Iya
deh aku minta maaf karna engga berhasil menangkap kelinci hutan itu
dan mengajak kamu ke sini. Sudah, cepat berdiri” Ryu menyesal.
Lulu
tetap menangis. “ Memangnya sakit banget ya?’” Ryu membungkuk
dan melihat kedua kaki Lulu. Mencari bagian-bagian yang lebam. Dan
membuat Lulu terus menangis tanpa tahu penyebabnya.
“Maaf
deh. Sakit ya?” Ryu melembut.
“Bukan
itu! Aku menangis bukan karna itu,” Lulu mulai bicara walau pelan.
“Hah?
Terus karna apa dong?”
“Kamu
jahat! Kamu mengatai aku bodoh! Cepat tarik kata-katamu yang tadi!
Aku’kan hanya terjatuh, kenapa dikatai bodoh?”
“Apa?
Ya ampun! Aku kira kamu nangis karna sakit. Kalau kata-kata yang itu
tidak akan kutarik. Aaaahh.. sudahlah cepat berdiri. Ayo kita pulang”
Ketika
Lulu berdiri, kaki kanannya bergetar. Kemudian terjatuh. Lalu ia
kembali berdiri. Dan kembali terjatuh. Hingga yang kelima kalinya ia
mencoba untuk berdiri, namun tetap gagal. Ryu menjadi kesal. Ia
marah. Marah pada dirinya sendiri. Ia pun berjongkok membelakangi
Lulu.
“Naiklah!
Dan berhenti menangis. Berisik tau”
“Benarkah?”
Kini isakan Lulu terhenti.
Ryu
mengangguk iya. Tangan Lulu tersimpul erat, membekap dada Ryu. Kedua
kakinya dirangkul Ryu agar tidak jatuh. Sesekali, simpulan tangannya
merenggang saat Ryu melewati akar-akar pohon besar yang kemudian
dieratkan kembali. Ia merasa aman berasa di dekat sobatnya. Hampir
setiap saat mereka bersama. Bemain, belajar, menjelajah, berangkat
sekolah. Mereka seperti tidak bisa dipisahkan. Ryu, ia anak yang
cerdas, cekatan, dan terampil. Walaupun sering bersikap masa bodoh.
Sementara Lulu, ia anak yang cantik, pintar, dan ramah. Mereka sering
bergantian berkunjung ke rumah satu sama lain. Orang tua mereka juga
sudah saling kenal. Dan terbiasa dengan kegiatan mereka berdua.
Mereka tinggal di desa. Desa yang indah, bersih, dan masih asri.
Di belakang desa ada sebuah bukit. Bukit yang dihuni rerumputan liar,
pohon-pohon dan beberapa hewan hutan yang bervariasi. Sebab di balik
bukit terdapat hutan. Hutan yang dianggap sebagian masyarakat desa
sebagai hutan terlarang. Sepasang mata burung elang putih berekor
hitam mengamati setiap langkah Ryu. Lulu mengamati sekitarnya. Akar
pohon beringin yang berjuntai rimbun sudah dilewati sejauh lima
meter. Walau hanya semilir angin yang menampar lembut untaian akar,
bunyi desirannya begitu mencekam. Alunan music hutan seakan bunyi
genderang yang bertabuh menghipnotis pendengarnya. Melewati pohon
beri hutan yang tersamarkan oleh semak-semak di sampingnya. Dan
kembali melewati juntaian akar pohon yang lebat. Ryu telah
terhipnotis alunan music “sang jantung hutan”. Lulu
tersadar akan hal itu. Sepasang mata burung mata masih nyaman
mengamati langkah kaki Ryu dari sebuah batang pohon.
“Ryu! Berhentilah untuk terus melangkah ke arah yang sama.
Langkahmu membuat kita hanya berjalan mengitari phon beringin, beri
hutan, dan semak-semak belukar. Langkahmu hanya membuat kita
tersesat! Dan di mana sarang ternak lebah milik Ayahmu? Sarang itu
sebagai tanda kalau kita berada di hulu hutan”
“Benarkah itu? Kalau itu memang benar, beritahu aku, di mana
sekarang aku berdiri,” Ryu menghentikan langkahnya dan berusaha
mendengar suara yang samar. Seperti suara geraman.
“Apa? Kamu sungguh tidak tau? Kau sedang berdiri tepat di bawah
pohon beringin. Pohon terbesar dan tertua di hutan ini,” sementara
itu, Ryu berjalan mundur perlahan, mendekati batang pohon yang
diperkirakan berdiameter beberapa dekade itu. Untaian akarnya pun
panjang-panjang. Nyaris menyentuh tanah. Ryu memilih juntaian akar
yang tidak terlalu panjang. Lulu mulai merasakan kekhawatiran dari
sikap Ryu.
GHHHEER. GHHHHEEERR.
Kemudian, SRAAK. SRAAKK.
“Cepat panjat akar-akar pohon ini setinggi-tingginya. Sebisa
mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Dan berhati-hatilah. Jangan
sampai menimbulkan gerak-gerik yang mencolok. Apalagi sampai jatuh.
Mengerti?” Ryu berbisik. Setelah Lulu mengangguk mengerti, ia
dinaikkan beberapa meter lebih tinggi agar lebih mudah untuk
memanjat untaian akar pohon. Tanpa ragu sedikit pun, Ryu memanjat
beberapa untaian akar pohon yang dipercayai sebagai jantung hutan itu
di sisi yang lainnya. Tak berapa lama kemudian, sosok penggeram itu
muncul. Dipandangnya jelas oleh Ryu dari ketinggian. Sosok itu. Sosok
itu dipenuhi warna oranye cerah. Diserati garis-garis loreng hitam
legam. Membuat sosok itu terlihat cantik, tapi juga menakutkan untuk
didekati. Saat itu juga Lulu dapat melihat sosok geraman yang
diwaspadai oleh sobatnya. Wajahnya yang baru berseri kembali menjadi
pucat ketakutan. Genggaman kedua tangannya mulai bergetar. Juga
melemah. Ia melayangkan pandangan menyerah pada Ryu. Butiran-butiran
keringat mulai keluar dari keningnya. Untaian akar pohon yang ia
genggam bergerak mengikuti gemetar tangannya. Kedua kakinya yang
tidak mampu menahan beban tubuhnya mengakibatkan ia turun beberapa
meter dari tempatnya semula. Suara gemersik yang ditimbulkannya
membuat sosok menakutkan di bawah, berputar-putar perlahan. Untungnya
seekor burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya hingga mengalihkan
perhatian sosok itu. Burung itu berkicau seolah menantang sosok yang
ukuran tubuhnya lebih besar berkali-kali lipat dan memiliki deretan
gigi yang siap mengoyak tubuh burung itu bila tertangkap. Burung yang
sedaritadi mengamati Ryu dan Lulu.
“Ryu.
Aku takut,” kata Lulu pelan pada sobatnya yang bergantung lebih
tinggi.
“Bersabarlah
sedikit lagi”
Ujung
untaian akar bergerak mengikuti gerakan tubuh Lulu yang semakin
merosot.
PAAK
PAAK PAAK KRUUUUUUR. Burung elang itu siap untuk
terbang. Kedua sayapnya sudah terbuka lebar.
“Ryuu…
tolong aku,” nada Lulu semakin ketakutan. Hanya sekitar empat meter
lagi, ia jatuh menimpa sosok itu. Lebih tepatnya, sosok itu adalah…
harimau! Ryu masih mengamati harimau di
bawah Lulu. Binatang yang merasa tertantang oleh seekor burung itu,
tak mau kalah. Kuku-kuku tajam di jejari ke empat kakinya terhunus
tajam. Ekornya menggeliat ke atas. Sorot matanya berubah lebih tajam.
GHEEEERRR
GRAAAW GRAAAW!!!
Tampaknya
harimau itu lebih marah. Kemudian…
WUUUUSSS.
Burung itu terbang menukik dan menerjang sang harimau dengan
paruhnya. Tidak terima dengan serangan sang burung elang, harimau itu
melambaikan ekornya dengan kekuatan besar dan mengenai sayap kanan
sang burung. Tak mau kalah, wajah harimau itu berhasil tergores paruh
burung elang yang terbang tinggi setelahnya. Harimau itu semakin
marah. Mengejar sang burung yang terbang menjauhi “sang jantung
hutan”.
Segera
Ryu melepaskan genggamannya, meluncur ke bawah dengan cepat, setelah
itu berdiri di bawah Lulu. Memastikan bahwa burung elang itu telah
menggiring harimau menjauhi “sang jantung hutan”.
“Hey!
Cepatlah turun. Pelan-pelan saja agar aku bisa menangkapmu,” Ryu
menyuruh Lulu turun sembari memperhatikan pohon beringin, “sang
jantung hutan” itu. Seperti ada kekuatan yang melindungi
dirinya dan Lulu.
“Aku
pikir, aku akan dimakan harimau itu. Tapi, Ryu, kenapa tadi kamu
begitu tenang?”
“Ada
suatu kekuatan di pohon ini. Aku merasa ada kisah tersembunyi
tentang pohon ini”
“Tentu
saja!”
“Maksud
kamu apa?” Tanpa sengaja, Ryu melihat seorang kakek tua renta yang
seluruh bagian rambutnya memutih. Kakek itu berjalan ke arah Ryu
dengan tongkat kayu yang begitu sederhana. Kakek itu tersenyum, lalu
berbelok, dan menghilang. Ryu mencoba untuk mencari kakek tersebut.
Namun sia-sia.
“Kenapa
kamu berputar Ryu?” Lulu sudah di ujung untaian akar.
“Oh…
engga apa-apa kok. Sudahlah. Cepat turun ke atas punggungku”
***
Pohon
besar yang diselubungi lumut di salah satu sisi menjadi penunjuk arah
bagi Ryu yang menggendong Lulu di punggungnya. Ia terus menapakkan
kakinya yang keletihan. Dipandangnya jalan setapak yang sedang
ditelusuri. Sebatang cabang pohon yang jatuh terpatah. Warna
kecoklatannya. Daun kering yang lebar. Ya, Ryu tahu kalau cabang
pohon yang dipungutnya berasal dari pohon jati. Perlahan muncul
hasrat untuk membuat sepasang gelang dari cabang tersebut. Untuknya
dan untuk Lulu.
Langit
mulai disirami warna oranye. Segerombol burung mendarat di beberapa
cabang pohon. Membawa beberapa biji-bijian yang bisa dimakan oleh
burung-burung muda dan kecil yang tersembunyi di balik sarang. Ryu
dan Lulu sudah berhasil keluar dari hutan. Tinggal menapaki bukit.
Lulu masih saja melingkari dada sobatnya dengan kedua tangannya yang
putih dan kurus.
“Ryu…
kalungku tidak ada,” katanya membisik di telinga Ryu.
“Yang
benar?” Ryu memastikan
“Iya.
Pasti terlepas saat aku jatuh. Bagaimana ini? Kita engga mungkin
nyari malem-malem kan?”
“Ya
sudah. Besok aku carikan”
Walau
sudah kelelahan, Ryu masih sanggup menggendong Lulu sampai ke teras
rumah Lulu. Seusai meneguk segelas air yang disuguhkan Lulu, ia
bergegas pulang ke rumahnya. Tak berapa lama kemudian, adzan Maghrib
berkumandang.
***
Sinar ultraviolet
bersinar ramah di desa Sembiring. Bunga-bunga yang mekar terlihat
lebih sempurna. Aaah… tidak ada yang bisa lebih sempurna dari
ciptaan Allah. Ryu sudah menemukan kalung sobatnya. Kalung yang
didapat dari nenek yang begitu Lulu sayangi. Di kantong celananya
tersimpan gelang yang ia buat dengan sedikit bantuan dari Papanya.
Tali gelang yang terbuat dari kulit sapi, menyangga ornamen bunga
dandelion dengan panah di bagian atas bunga. Ornamennya tidak terlalu
besar ataupun kecil. Ornamen itu punya dua bagian. Lebih tepatnya,
bisa dibuka tutup. Kalau tutup ornamennya dibuka, ada tulisan yang
diukir. RYULU. Dengan
senang hati, ia mengajak Lulu ke atas bukit. Hanya saja, Lulu sedikit
aneh. Tergambar kekhawatiran dari parasnya. Ia menyembunyikan sesuatu
dari Ryu. Usai menceritakan legenda “sang jantung hutan”
ia berencana menyampaikan satu hal pada Ryu.
“Jadi
begitu. Pantas saja aku melihat seorang kakek”
“Ryu,
kemarin kamu janji mencari kalungku. Sudah ketemu belum?”
“Oh…
iya kalung. Ini”
Ia
juga memberikan gelang buatannya. Lulu bisa melihat ukiran nama
setelah membuka tutup ornamennya.
“RYULU?
Apa itu?” Tanya Lulu
“RYULU…
Ryu dan Lulu. Cepat dipakai”
Lulu
terdiam sejenak, “Ryu … tetaplah menjadi sobat terbaikku walaupun
nanti kita terpisah”
“Terpisah?
Memangnya kita bisa dipisahkan?” Ryu bergurau.
“Ryu…
a… aku… akan pindah ke kota tiga hari lagi”
“Maksud
kamu? Pindah rumah?”
Desiran
angin merusak suasana di atas bukit saat itu. Membuat Ryu tak bisa
berkata apa-apa.
To Be Continued…