Senin, 27 Agustus 2012

She's Change bab 4

“Lulu? Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ryu yang duduk bersama Lulu. Di atas bukit, di balik desa, tempat tersimpan banyak kenangan. Terbangun dengan terkejut, Lulu mengakhiri menyandarkan kepalanya pada bahu Ryu. Ia menatap Ryu. Meneliti sosok Ryu yang berada di sampingnya. Apakah ini mimpi? Apakah sosok Ryu yang berada di sampingku sungguhan? Bukankah yang berada di samping diriku adalah Gani? Ia bertanya-tanya hati. Tapi, jika hal itu memang nyata, ia begitu senang. Sangat senang.
Ia peluk erat-erat sosok Ryu. Ia pikir, ia tidak akan bisa bertemu dengan Ryu lagi. Apalagi kalau mengingat kejadian yang menimpa dirinya beberapa saat yang lalu.
“Aku baik-baik saja. Sangat baik, karena akhirnya kita bertemmu lagi,” jawabnya begitu bahagia.
Tapi ada yang aneh dari Ryu. Banyak pertanyaan yang enggan ia jawab jika Lulu bertanya. Senyuman. Ia akan membalas dengan senyuman setiap pertanyaan yang enggan ia jawab.
“Lu… jaga dirimu baik-baik ya,” Ryu begitu lembut. Senyuman Ryu menghanyutkan kekhawatiran Lulu.
KRAK! KRAAK! DRRRT DRRT
Ada retakan di tanah antara mereka! Lulu menjadi pucat pasi. Retakan itu semakin terpecah. Memisahkannya dengan Ryu. Panic. Keadaan memaksanya berdiri. Terperangah melihat Ryu tersenyum seperti biasa. Tidak ada kepanikan sedikit pun dari paras Ryu. Sementara itu, lempengan bumi yang menjadi pijakan Lulu terus bergerak menjauh. Air matanya membasahi pipinya yang semerah buah tomat karena tidak bisa lagi ia tahan. Ryu! Ryu! Begitu teriakan dalam hatinya. Sayang, teriakan itu tidak terdengar Ryu. Tiba-tiba saja, sekeliling Lulu menjadi gelap gulita. Jalannya mengendap-endap untuk mencari jalan keluar. Matanya tidak bisa melihat apa pun. Terlalu gelap. Hitam pekat.
“KYAAAAAA!”
Perasaan tak menentu beradu di hati Lulu. Kesempatan bertemu Ryu malah terpisah kembali. Mencari jalan keluar. Malah terperosok ke dalam lubang yang sempit, gelap, dan engap. Tangisannya tak bisa didengar oleh siapa pun. Sekali pun ia sudah menangis sekencang-kencangnya. Toh, pada akhirnya ia hanya menangis di tengah kegelapan.
***
Detak jantungnya! Detak jantungnya terus melemah. Tim medis pun memutuskan untuk melakukan kejut jantung. Memindahkan dirinya ke ruangan yang lain. Satu. Dua. Tiga. Dadanya termagnet sesaat lalu terlepas lagi. Satu. Dua. Tiga! Hal itu terus dilakukan hingga detak jantungnya kembali normal. Nasehat yang bisa ia dengar hanya, “harus banyak istirahat”. Tak bisa! Kelopak matanya tak bisa ia paksa agar tebuka. Nyeri menjalar di seluruh tubuhnya. Lagi! Hanya bisa menangis tanpa ada yang mendengar. Lelah. Menggoda jasmani dan rohaninya untuk beristirahat. Dari segala kesedihan, kekhawatiran, dan kesakitan.
***
PIP… PIP… PIP… PIP…
Papa, Mama, dan ka Firza menunggu raga Lulu di dalam kamar. Papa sibuk berbisik-bisik dengan dokter. Mama mengelus-elus kening Lulu dengan lembut. Mamanya berusaha tegar. Bayangkan! Betapa pedihnya seorang ibu melihat anaknya terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuh. Tungkai kaki kanan Lulu dibidai karena tulang keringnya patah. Wajahnya juga tertimpa ala bantu napas. Vivi malah memuta-mutar kedua jari telunjuknya. Ina, Rizki, dan Gani tak bersuara sedikit pun. Rafli kelimpungan di depan pintu kamar.
“Lulu… kamu harus sadar. Yakinkan hatimu kalau semua akan baik-baik saja,” katanya seperti cacing kepanasan.
“All is well Lu,” lanjutnya.
“Kami akan ada bersama kamu…
“Bahkan kalau perlu, akan kucarikan Ryu untukmu”
Rafli terus berucap. Berharrap semua ucapannya tersampaikan pada Lulu yang diam terbaring di dalam kamar. Ka Firza mencoba berbincang dengan Lulu. Tapi tetap saja, Lulu terus diam tertidur. Tak bergerak. Atau sekedar membuka kedua matanya.
Gani tidak mempedulikan kaos putihnya yang kotor, yang merusak penampilannya. Tampak seperti gembel. Noda darah, coklat kehitaman tanah bercampur sempurna dengan serpihan daun kering menghias abstrak penampilannya. Bunyi alat pemantau detak jantung mengganggu telinga seluruh orang yang menyayangi Lulu di dalam ruangan. Rafli berubah merutuki dirinya, melihat tidak ada reaksi apa pun dari Lulu. Ia marah, sedih, dan khawatir. Usai berbincang dengan Papa, dokter keluar kamar dan melihat Rafli yang berkeringat dingin. Dokter itu tersenyum ramah padanya. Berjalan cepat ke arahnya, kemudian menyergap bahu Rafli.
“Tidak apa-apa. Gadis di dalam sana akan baik-baik saja,” ssetelah itu dokter pergi melewati lorong koridor rumah sakit dengan ekspresi bersimpati. Dan Rafli sempat melihat ekspresi beliau walau sesaat.
“Pasti ada yang disembunyikan oleh dokter tadi. Tapi tentang apa?” Rafli begitu yakin dengan argumennya.
***
Mungkin langit di angkasa turut bersedih. Awan hitam mengulung-gulung di langit. Menyekap langit petang. Awalnya hanya awan hitam pekat di langit. Tapi, setelah ikut nimbrung, suasana langit petang menyirnakan banyak harapan manusia.
Petang berganti malam. Begitu juga kilat. Kilat berganti rintik hujan. Lambat laun malam semakin larut. Rintikan hujan berganti hujan badai. Ina, Rizki, dan Rafli sudah pulang ke rumah mereka. Gani mengintip langit malam dari balik tirai jendela. Hujan begitu deras. Badai berkali-kali menjilati gedung-gendung bertingkat dan pohon-pohon kekar yang menjulang. Air mengalir di kaca jendela luar. Dengan bintik-bintik air akibat terpercik benda-benda di sekitar. Tubuhnya jadi bergidik kedinginan. Hawa dingin menerobos masuk lewat kaca jendela. Lalu tirai itu ditutup agar hawa dingin terserap kain tirai.
“Dasar. Bukannya pulang,” kata Gani pelan dengan desahan, melihat Vivi tertidur di sofa. Dilepasnya jaket hitam bergaris pinggir merah untuk menyelimuti tubuh Vivi. Kemudian duduk dan menyenderkan kepala Vivi ke bahunya. Papa dan mama Lulu pulang ke rumah. Papanya akan dinas selama seminggu di Tanggerang. Sementara mamanya, akan kembali ke rumah sakit membawa beberapa pasang baju ganti. Ka Firza tertidur di kursi sembari menghangatkan tangan Lulu. Semoga Lulu di sana merasa hangat dan nyaman, serta tidak merasa kesepian. Begitu harapannya.
***
Sudah tidak bisa! Persedian air matanya sudah habis. Setetes pun. Ia berusaha memanggil semua orang yang ia sayangi hingga suaranya serak. Kegelapan. Secercah cahaya pun tidak ada. Yang ada malam sepanjang waktu.
“Papa… mama…” Panggilnya serak.
“Ka Firza…
“Ryu… Vivi… Gani…
“Ina… Rizki… Rafli…
“Siapapun! Bantu aku keluar dari sini,” katanya dengan kepala menengadah dan memukul-mukul batasan ruang.
Namun sia-sia saja. Tidak ada yang datang. Kesepian dan ketakutan menyatu dalam dirinya di dalam ruang hampa. Menunggu seseorang datang. Seketika saja, tangan kirinya menghangat. Seperti pertanda kalau ada orang yang menunggunya dengan penuh harap. Kantung matanya yang sembap mengatup-ngatup beberapa kali. Dan akhirnya menutup beristirahat dengan kehangatan di tangan kiri.
***
Waktu terus berputar ke masa depan. Tetapi, tidak untuk Lulu. Suhu tubuhnya masih hangat. Sayangnya, tak sedikit pun raganya bergerak. Rafli merasa bersalah setelah melihat keadaan Lulu selama beberapa hari. Secara diam-diam ia mencari alamat kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia ingin Ryu menjenguk sobat kecilnya dulu. Setidaknya meminta Ryu untuk mebisikkan kalimat-kalimat semangat di salah satu telinga Lulu. Agar Lulu cepat tersadar dari tidurnya.
Memang tidak mudah untuk mencari keberadaan Ryu. Untung saja motor yang ia kendarai dari Pondokgede ke Tanggerang Selatan bukan motor “ecek-ecek”. Butuh pengorbanan yang banyak untuk menemukan keberadaan Ryu. Usahanya tidak sia-sia! Selalu adajalan jika ada kemauan. Setiba di depan pagar rumah keluarga Ryu, cepat-cepat ia mematikan mesin motornya dan turun untuk menekan tombol bel.
“ADA TAMU! ADA TAMU! ADA TAMU!”
Bunyi belnya tidak lazim. Setelah beberapa saat menunggu, seorang anak laki-laki berperawakan tinggi membuka pintu pagar. Rafli meneliti dalam-dalam paras anak laki-laki itu. Berkulit putih, bermata sipit, berambut coklat, mengenakan kacamata baca, dan gelang kulit berornamen di pergelangan tangan kanannya.
“Ryu Hisaki?” Nadanya bertanya agak ragu.
“Ya. Benar. Ada urusan apa ya?”
Pagar rumahnya semakin terbuka lebar.
“Aku Rafli, teman dari Lulu Ariana. Ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu”
“Oh. Begitu… kalau begitu silakan masuk. Motornya juga dimasukkan ke taman rumah saja.”
Mungkin Rafli sudah kelelahan mengendarai. Tubuh gempal yang ia miliki membuatnya terengah-engah ketika memasukkan motornya ke taman rumah Ryu. Walau hanya sekilas, ia melihat Echa. Adik perempuan Ryu.
“Manis sekali,” katanya tanpa sadar.
“Eh?” Ryu melihat arah pandangan mata Rafli.
“Oh… dia itu Echa Hisaki. Adik aku,” jelas Ryu yang memergoki mata Rafli yang mengamati Echa. Dengan senyum simpulnya yang khas.
Kemudian Ryu mengajak Rafli masuk ke dalam ruang tamu. Ukuran ruang tamunya memang tidak luas, tapi desain interiornya menyulap ruang tamu itu terlihat lebih besar dari ukuran yang sebenarnya. Sembari Rafli meneliti ruang tamu rumahnya, Ryu menyiapkan sekaleng bikuit, dua gelas kaca yang terisi penuh, dan teko berdesain yang juga terisi penuh. Begitu dipersilakan Ryu untuk minum, Rafli meneguk habis air di gelas dalam tiga tergukan.
“Jadi, ada urusan penting apa?” Ryu mempercepat perbincangan.
“Aku ke sinin mau minta bantuan sama kamu untuk Lulu”
‘Lho? Memang Lulu kenapa? Sampai memerlukan bantuanku?” Ryu mulai khawatir mengingat figura foto yang jatuh. Lengkap dengan ingatan posisi pecahan kaca figura itu. Lalu…
CKLEK. Tampaknya seseorang masuk ke dalam rumah. Ryu pikir yang masuk adalah karyawan perusahaan Ayahnya. Jadi Ryu bersikap acuh.
“Sebenarnya Lulu… ia… ia… belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ia terus saja tertidur di ranjang pasien di rumah sakit”
Tersentak. Berusaha keras Ryu menyembunyikan ekspresi itu. Berpura-pura tetap tenang seperti biasanya. Meneguk sekali air putih di gelas kaca agar irama pernapasannya tetap stabil.
“Lalu? Bantuan seperti apa yang kamu inginkan?”
‘Datanglah untuk menjenguknya. Berikan ia semangat. Berjanjilah padanya kalau kamu akan sering-sering bersamanya,” pintanya begitu lancar.
Ryu tidak bergeming. Tatapan matanya bak seorang yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Mendapati reaksi Ryu yang tidak bergeming, Rafli menjelaskan awal kecelakaan yang dialami Lulu. Dari keberangkatan ke kaki gunung, duduk melingkar, rintikan hujan, serangan burung gagak, hingga yang terakhir, saat Lulu jatuh terperosok ke lereng gunung. Cerita Rafli membuat Ryu shock. Ia baru paham, kalau jatuhnya figura foto itu sebagai pertanda. Pertanda kalau terjadi bahaya pada Lulu. Seharusnya aku menyadari hal itu dari awal. Dasar payah. Sesalnya dalam hati.
BRUUUUUSS
Paperbag belanjaan Umi jatuh. Tomat merah jatuh bergelundung di lantai ruang tamu. Sontak Ryu memalingkan pandangannya ke arah Umi, lalu memandangi tomat yang bergoyang-goyang selagi mencari keseimbangan. Echa mendengar suara khas paperbag yang jatuh dan segera berlari ke ruang tamu.
“Umi… Umi kenapa? Paperbag belanjaan Umi jatuh,” Tanya Echa sambil membereskan sayuran yang jatuh tercecer.
“Abang. Umi kenapa? Kenapa belanjaannya dijatuhin sama Umi?” Echa mengalihkan pertanyaannya pada Ryu. Ryu segera bergeming.
“Oh… tidak apa-apa kok Cha. Belanjaan Umi jatuh karena tangan Umi kelelahan. Mendingan Echa bantuin Umi bawa belanjaan ke dapur. Abang lagi ada tamu”
Echa mengangguk paham.
***
Hampir sepekan Lulu terus tertidur. Ina dan rizki tidak bisa mengunjungi Lulu sebab mereka harus menyerahkan beberapa dokumen nilai untuk keperluan mendaftar di SMA. Kalau Rafli, Gani, dan Vivi sudah mendaftar lebih dulu. Memang benarkan? Lebih cepat lebih baik. Rafli terus memandangi jam tangannya. Menghitung jumlah waktu yang telah terlewat. Vivi dating dengan seikat bunga bakung. Lengkap dengan vas melaminenya. Gani datang tepat di belakang Vivi. Mama membantu Vivi dengan mengisikan air ke vas bunga sebagai tanda terima kasih.
“Satu… dua… tiga…- Vivi menghitung setiap tangkai bunga yang ia masukkan ke dalam vas.
“Empat… lima…” ia berhenti menghitung. Berbalik ke arah Gani yang berdiri di belakangnya.
“Lihat! Bunganya cantik’kan? Ayo masukkan kedua bunga ini ke dalam vas,” ia menyodorkan dua tangkai bunga ke wajah Gani. Dekat dengan hidung Gani. Ia sih berniat baik mau memasukkan kedua bunga itu, tapi sayangnya, bukannya ia memasukkan kedua bunga itu, yang ada, kedua bahunya terangkat dan kemudian…
HAAATTSSSSSIIIIH
Kepala Gani merontokkan semua kelopak bunga bakung. Vivi shock. Wajah pelongonya tersirat jelas. Disusul dengan siratan kecewa. Setelah itu Vivi menyalahkan Gani. Gani juga tidak mau disalahkan begitu saj. Ia berdalih dengan mengungkap kelemahannya. Ia berdalih kalau ia alergi terhadap bunga. Alergi terhadap bunga! Sungguh konyol. Gerutu Vivi. Pada akhirnya perkelebatan di antara mereka tidak bisa dipisahkan lagi. Perkelebatan yang sering terjadi.
***
Paras Rafli terlihat –harap cemas-. Menunggu kedatangan seseorang. Ryu. Kemarin, sebelum berpamitan, ia belum mendapatkan jawaban dari Ryu. Atau sebuah kepastian dari Ryu. Saat ia mendapati kesedihan di mata Ryu, Ryu tidak bicara sepatah kata pun. Hanya membuka pagar rumah. Walau pun Rafli berusaha memohon padanya, tetap saja, ia tidak bergeming. Hanya ketidakpastian yang Rafli dapat setelah ia melajukan motornya kembali ke Pondokgede.

She's Change bab 3(New Version)

Waktu memang tidak pernah berdusta
Tak seorang pun bisa…
Untuk menepis putaran waktu
Janganlah mengutuk masa lalu…
Bangkit!
Berjuanglah untuk masa depan.


Tiga bulan sekali, Ryu mengeposkan kehidupan-kehidupan di desa Sembiring kepada Lulu. Kebetulan hari itu adalah hari kelahiran Lulu. Jadi pos keduapuluhnya itu ditemani oleh paket kotak yang terbungkus cantik. Desa telah berubah pesat. Perpustakaan desa, puskesmas, warung makan, butik, took buku, salon, gedung SD,SMP, dan SMA. Banyak yang telah berubah. Walaupun sudah banyak yang berubah, tetapi hutan di belakang bukit tetap terjaga. Masyarakat di desa juga sudah lebih mapan. Tidak hanya anak-anak yang semangat belajar, orang dewasa juga belajar. Untuk menambah wawasan dan ilmu. Memang benar’kan? Mencari ilmu itu tidak dibatasi oleh umur. Rasanya, desa sebentar lagi akan berubah menjadi negeri Utopia. Negeri impian semua orang. Negeri di mana semua orang merasakan kedamaian. Tidak ada pertikaian. Tidak ada pertumpah darahan. Meski pun setiap warga memiliki pendapatnya masing-masing.
***
“Lulu… teman-teman kamu sudah datang tuh. Cepat turun sayang,” Mama mengingatkan Lulu yang sudah berjanji untuk mendaki gunung bersama teman-teman SMPnya. “Sebagai kenang-kenangan kalau kita pernah berteman baik,” kata Lulu saat menghasut kelima teman baiknya. Disimpannya baik-baik kado dari Ryu. Biasanya ia meletakkann kado dari Ryu di kotak khusus yang ada di dalam lemari bajunya. Tapi kali ini berbeda. Ia letakkan di samping foto –yang diambil lima tahun yang lalu-.
Segera Lulu turun ke tingkat bawah rumahnya. Rambutnya yang dikucir bergelayutan dan menampar-nampar bahu kanannya. Senyuman ceria diterbarnya untuk menutupi rasa khawatir yang mendadak ia rasakan dari teman-temannya.
“Lama banget sih,” protes Ina, orang pertama yang berkenalan pertama kali dengannya ketika ia baru pindah ke sekolah yang baru.
“Kayak kamu engga kenal dia aja Na,” Rizki mengingatkan Ina.
“Ehm... udah. Cepetan. Kebiasaan ‘putri solo’nya jangan dibawa-bawa” Gani meledek sambil berbalik ke arah pintu.
“Maksudnya putri solo opo toh?” Vivi bingung dengan ucapan Gani pada Lulu.
“Kenapa aku ndak boleh dibawa-bawa? Emang aku salah opo toh? Sampe segitunya sama aku,” lanjutnya.
“Memangnya siapa yang melarang bawa kamu pergi?” Gani malah ikut-ikutan bingung.
“Iya toh. Tadi kamu bilang kebiasaan putri solonya jangan dibawa-bawa. Kenapa aku ndak boleh dibawa toh?”
“Lho? Iya, aku emang bicara seperti itu. Tapi ga ngelarang siapa-siapa kok”
“Iiiiih… kamu itu nyebelin ya. Aku emang putri solo. Tapi kenapa aku ndak boleh dibawa-bawa? Aku punya salah opo ke kamu? Sampe kamu sejahat itu.”
Ina, Rizki, dan Gani saling berpandangan. Tidak mengerti akan tanggapan dari Vivi.
“Oh, gue ngerti. Vivi ngambek gara-gara perkataan lo, Gani,” Rafli mulai membuka jalan pemecahan kesalahpahaman yang terjadi.
“Lho? Kok aku? Kenapa gara-gara aku?”
“Iya Raf. Kenapa jadi salahnya Gani? Dia’kan engga ngapa-ngapain Vivi. Jangan menyalahkan Gani dong,” Rizki membela Gani.
Sembari menuruni tangga, Lulu tersenyum-senyum sendiri. Ia sangat mengerti yang terjadi dengan protesnya Vivi. Ia tahu kalau kata ‘putri solo’ itu tujukan untuknya. Untuk mengejeknya. Bukan untuk Vivi.
“Makanya Gani, kalau mau mengatai aku ‘putri solo’ jangan di depan Vivi,” Lulu sudah berada di anak tangga terbawah.
“Lho? Memangnya kenapa? Kamu memang ‘putri solo’ kan?”
“Bukan gitu Gani. Kamu lupa? Vivi itu lahir di Solo. Masih ada keturunan keratonnya,” Rafli memperjelas.
“Beneran?” Kini Gani memandangi Vivi. Tak percaya dan tak menyangka.
Ina dan Rizki menyusul sambil mengangguk-angguk paham. Sementara itu Vivi yang merasa kalau dirinya baru saja menjadi pusat perhatian, bertanya dengan begitu polos.
“Kok aku jadi dipandangi gini toh? Ada yang salah ya?”
“Udah, udah… mending kita berangkat aja. Ayo Vi, kita berangkat. Yang tadi, sebaiknya tidak dipikirkan serius,” ajak Lulu.
“Nje, aku paham”
***
Baru beberapa meter mendaki gunung, Rafli sudah kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. Remaja bertubuh gempal itu memang mudah lelah. Ia sudah tertinggal jauh dari teman-temannya. Untung saja, Lulu berada di depannya dalam barisan. Jadi ia berteriakk memanggil Lulu. Kemudian meminta waktu untuk beristirahat. Gani, pemimpin selama pendakian menyuruh agar yang lainnya duduk melingkar. Seperti yang dilakukan para sahabat nabi dalam berdiskusi. Dan, menurut Gani, supaya terasa seperti keluarga. Rafli dan Rizki duduk bersampingan dengan Gani. Ina duduk di samping Rizki. Diikuti oleh Vivi. Dan yang terakhir adalah tempat Lulu. Rafli sedang menikmati makanannya. Gani dan Vivi sibuk berdebat. Sementara Lulu, ia terus engamati gelang yang sering melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia membuka tutup ornamen dari gelang itu. Masih tertera jelas. Ukiran nama di baliknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Mengingatkannya pada Ryu. Sobat terbaiknya di desa. Mungkin, sudah lima tahun ia tidak bertemu Ryu. Hanya bisa berkirim surat. Sbab, ia belum diizinkan memiliki ponsel.
RYULU? Apa itu? Nama artis? Nama merek?” Tanya Ina yang ikut melihat ukiran di ornamen gelangnya.
“Bukan,” jawabnya sambil mengerjapakan mata agar tidak keluar airmata.
“Terus apa dong? Gelang itu kayaknya penting banget buat kamu”
RYULU itu nama singkatan dari Ryu dan Lulu. Benar’kan?” Jawab Rafli agak ragu.
“Siapa itu Ryu? Pacar kamu?” Suara Ina agak keras. Sehingga yang lain jadi berfokus menunggu jawaban Lulu.
“Bukan ko. Dia itu sobat terbaikku di desa,” lalu ia menghela napas panjang beberapa saat.
“Kalau Ryu kamu anggep sobat. Terus, kita dianggep opo toh?” Tanya Vivi polos.
“Kalian semua sobat aku juga”
“Ayo ceritakan tentang dirinya pada kami semua,” pinta Ina.
Lulu mulai bercerita, awal dirinya dan Ryu bertemu, menjadi teman, lalu menjadi sobat baik. Saat mereka belajar bersama, bermain bersama, bolos bersama, dan kejadian yang paling berharga. Saat ia berada di hutan bersama Ryu karena menginginkan kelinci hutan. Saat ia harus bersembunyi dari harimau dengan memanjat untaian akar pohon beringin. Matanya berkaca-kaca lagi. Dalam sekejap, suasana berubah sunyi. Deru desiran angina semakin terdengar. Persis seperti desiran angin lima tahun lalu. Saat ia memberitahu kepindahannya ke kota pada Ryu. Rasa khawatir dalam jiwanya mencuat kembali. Menggoyahkan keberaniannya.
“Huuufh… ya. Istirahatnya udahan dulu. Kita lanjut mendaki ke atas,” Gani membuyarkan suasana sunyi.
“Hem. Betul. Ayo Na, bangun. Jangan duduk terus,” Rizki mengulurkan tangannya. Membantu Ina untuk berdiri.
Lulu membantu Rafli yang kesulitan berdiri karena badan gempalnya. Gani berbalik ke arah Lulu. Ingin mengingatkan sekaligus mengejek Lulu.
“Ayo cepat. Jangan pake acara putri so…”
Gani melirik ke arah Vivi. Teringat kejadian tadi pagi. Padahal Lulu dan Rafli sudah siap memperhatikannya.
“Ga… ga jadi deh. Langsung jalan aja”
***
Warna abu-abu menimpa warna cerah di langit dengan paksa. Bak seorang yang tak sabar menunggu karena telah menunggu untuk waktu yang panjang. Suara gemuruh yang beradu menemani warna abu-abu di langit. Membuat langit semakin gelap. Gani, Vivi, Rizki, Ina, dan Lulu serta Rafli harus mendaki lereng yang agak sulit. Banyak bebatuan yang disinggahi lumut. Dengan jalan setapak yang ada! Mereka terus mendaki. Harus berhati-hati. Bisa-bisa jatuh ke dalam lereng ke sisi yang satunya. Lereng yang dipenuhi semak belukar, akar-akar pohon tua yang mencuat, dan ranting-ranting kering serta dedaunan kering yang tersebar tak menentu. Di luar perkiraan, rintik-rintik air hujan jatuh ke dataran Jawa Barat. Jalan setapak jadi licin. Tentu! Lebih berbahaya dari sebelumnya.
“Mbok e… aku sayang mbok…” kata Vivi kaget karena terpeleset dan nyaris jatuh ke lereng. Beruntungnya, Gani segera meraih lengannya. Dan meyelamatkan Vivi yang matanya sudah terpejam pasrah. Tiba-tiba saja…
WUUUSS!!!
Seekor burung gagak menyerang Ina. Ina masih berhasil mengelak untuk yang pertama kali dari serangan burung tersebut. Tak hanya Ina, Rafli pun turut jadi serangan. Adanya gerakan dari pemberontakan yang dilakukan Ina dan Rafli mengganggu Lulu. Jilbab Ina beberapa kali menampar wajah Lulu.Menganggu konsentrasinya. Rizki mencoba mengusir burung itu dengan mengibas-ngibas selembar kain putih yang diikat ke sebuah patahan cabang pohon. Ina menjerit ketakutan karena terus diserang burung gagak. Bukannya dapat mengusir burung gagak itu, usaha Rizki malah memperkeruh suasana. Suasana tambah lebih panik. Sedangkan tubuh gempal Rafli menyempitkan ruang lingkup gerak Lulu. Akibat dari usaha Rizki, burung gagak itu terbang ke atas kemudian menukik tajam menyerang Rafli. Melenyapkan konsentrasi Rafli menjaga keseimbangan badannya. Lalu…
DUUUKK! Lulu terhempas karena bertabrakan dengan ransel Rafli.
“Ryuuuuuu…” Lulu masuk ke dalam lereng! Kuciran rambutnya terlepas.
SRAK! SRAK! KRAK! SRAK! SRAK! KRAK! DAAK! Tidak ada kesempatan bagi Lulu untuk melihat seberapa dalam dirinya terjatuh. Sementara hujan mulai berkecamuk deras. Vivi hanya mematung. Menyaksikan temannya terperosok dan terbentur batu di pedalaman lereng. Cepat-cepat Gani mengeluarkan tambang dari dalam ransel. Memilih batang pohon yang kekar. Dan membuat simpul tiang di sisi pohon dan simpul hidup di sisi tubuhnya.
“Rizki. Bakarlah sesuatu kalau hujan udah berhenti. Usahakan membakar dalam jumlah banyak. Kumpulkan saja cabang-cabang pohon,” katanya sigap.
“Oke Gani.”
“Vivi… kamu… cepat cari tempat berteduh. Jangan turun ke bawah sini. Tinggallah sampai hujan berhenti. Oh iya, Ina! Rafli! Cobalah untuk menenangkan diri. Oke?”
“Terus, kamu bagaimana Gani?” Tanya Vivi khawatir.
Tersenyum simpul. Itulah yang dilakukan Gani kalau sudah serius dan tidak ingin orang lain khawatir.
“Nanti aku menyusul Vi,” kemudian Gani turun dengan hati-hati untuk menyelamatkan Lulu. Dipergelangan tangannya terikat tali tambang. Dari simpul yang lain yang ia buat.
***
PRAAK!
Sebuah figura foto terjatuh dari meja kecil yang ada di samping ranjang tidur Ryu. Di kamar Ryu. Di kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia menutup halaman novel Ranah 3 Warna yang sedang ia baca. Diambilnya figura foto itu. Kacanya pecah. Membuat foto usang di dalamnya terlihat menyedihkan. Ia pandangi foto dalam figura itu. Gambar seorang anak perempuan berambut panjang dengan ikat rambut berbandul strawberry berpadu manis dengan dress dan kalung berbandul chibi membuat dadanya sesak. Apalagi melihat ujung-ujung dari pecahan kaca di sekita gambar anak perempuan tersebut.
“Abang Ryu… kalau kita pindah rumah. Terus gimana cara mba Lulu bales pos dari abang?” Tanya Echa yang masuk sembarangan ke kamar Ryu dengan tergesa-gesa.
“Kan bisa dilihat dari alamat pengirimnya Cha,” Ryu merangkul Echa lalu duduk di atas ranjang tidur. Sementara, tangan kanannya memegangi figura foto yang pecah. Pecahan kaca berkilat-kilat di mata Echa akibat serangan sinar matahari yang menerobos masuk ke kamar Ryu. Ia penasaran dengan benda yang baru saja berkilat-kilat di matanya. Begitu sadar, kalau benda yang dipungutnya adalah pecahan kaca. Ia tahu kalau figura yang dipegang kakaknya sudah pecah.
“Abang… figuranya kenapa pecah?”
“Abang juga ga tau Cha. Tiba-tiba aja pecah”
“Yaaah… abang… bukannya fotonya begitu berarti buat abang?”
“Gampang Cha. Kan bisa beli figura yang baru. Bisa langsung diganti”
“Oh iya ya…”
Ayah Ryu sudah memiliki toko meuble yang lebih besar. Dan bekerjasama dengan beberapa perusahaan ternama di Jakarta untuk produk furniture. Juga mempekerjakan lima belas karyawan. Semua bentuk dan model furniture adalah desain ayahnya. Jadi Ryu juga belajar membuat furniture dari ayahnya. Keluarga Ryu sudah tidak tinggal di desa. Ekonomi keluarganya membaik. Kemudian ayah Ryu memutuskan untuk pindah rumah ke kota. Pindah karena kepentingan bisnis. Rumah yang lebih nyaman. Dengan dua tingkatan, garasi, dan taman yang luas. Ryu terus memandangi foto di figura, semakin resah jiwanya. Semakin pula sesak yang ia rasakan. Pasalnya, pecahan itu menyelubung di bagian Lulu.
“Ryu! Echa! Cepat turun. Kalian harus daftar ke sekolah yang baru,” Mama berteriak dari tingkat bawah.
Echa segera berlari keluar dengan tas gendong merah berpitanya. Ryu menyusul dengan santai. Memandangi figura yang ia taruh di atas ranjang. Benar! Masalahnya bukan figura yang bisa diganti dengan mudah! Namun sesak yang ia rasakan terhadap foto Lulu. Tetapi, ia kembali lagi. Memasukkan figura tersebut ke dalam tasnya. Berharap sesak yang dirasakannya tidak berhubungan apa pun dengan Lulu. Mama membawa berkas yang diperlukan oleh Ryu dan Echa. Sebab, Echa akan didaftarkan ke kelas empat SD. Sedangkan Ryu, ia akan didaftarkan ke SMA.
***
Di tempat lain, di lereng gunung, pendakian benar-benar dihentikan. Gani memeriksa tubuh Lulu. Penuh dengan luka. Pelipis kanan atas, lengan atas, siku, tungkai atas, tungkai bawah. Banyak sekali. Tubuh Lulu terus dialiri oleh darahnya sendiri. Ia tidak pingsan. Hanya tidak mampu bergerak. Dan merasa terlalu lelah. Ketika itu juga, ia mengingat nasihat kakaknya, Firza. Kalau dalam keadaan terluka parah, sebaiknya kita berdzikir. Begitu ia mengingat nasihat kakaknya. Akan tetapi, lidahnya terlalu kelu untuk berdzikir dengan lafadz yang benar. Jadi, dzikirnya hanya terdengar seperti suara gumaman. Tapi ia yakin kalau Allah akan melindunginya.
“Lu… lu… sadar Lu,” terdengar suara Gani yang duduk di sampingnya.
Pandangannya buram ketika ia membuka kelopak matanya. Ia tahu kalau orang yang ada di dekatnya itu Gani. Tapi, sungguh! Orang yang ia harapkan bukan Gani. Melainkan Ryu. Sobat yang begitu ia rindukan. Begitu ngilu rasa sekujur tubuhnya. Ia takut. Banyak hal yang jadi ia takutkan. Salah satunya takut kalau tidak bisa bertemu dengan Ryu untuk selamanya. Jika itu terjadi sungguhan, pasti sedih rasanya. Jika hanya bisa mengamati Ryu dari kejauhan yang tidak bisa dicapai seluruh manusia.
***
To be Continued…


Biological Agent Classification According to the Risk

Class Deskripsi Tipe Agent Contoh Mikroorganisme Class I Mikroorganisme yang digun...