“Lulu? Bagaimana
keadaanmu?” Tanya Ryu yang duduk bersama Lulu. Di atas bukit, di
balik desa, tempat tersimpan banyak kenangan. Terbangun dengan
terkejut, Lulu mengakhiri menyandarkan kepalanya pada bahu Ryu. Ia
menatap Ryu. Meneliti sosok Ryu yang berada di sampingnya. Apakah
ini mimpi? Apakah sosok Ryu yang berada di sampingku sungguhan?
Bukankah yang berada di samping diriku adalah Gani? Ia
bertanya-tanya hati. Tapi, jika hal itu memang nyata, ia begitu
senang. Sangat senang.
Ia peluk erat-erat
sosok Ryu. Ia pikir, ia tidak akan bisa bertemu dengan Ryu lagi.
Apalagi kalau mengingat kejadian yang menimpa dirinya beberapa saat
yang lalu.
“Aku baik-baik
saja. Sangat baik, karena akhirnya kita bertemmu lagi,” jawabnya
begitu bahagia.
Tapi ada yang aneh
dari Ryu. Banyak pertanyaan yang enggan ia jawab jika Lulu bertanya.
Senyuman. Ia akan membalas dengan senyuman setiap pertanyaan yang
enggan ia jawab.
“Lu… jaga dirimu
baik-baik ya,” Ryu begitu lembut. Senyuman Ryu menghanyutkan
kekhawatiran Lulu.
KRAK! KRAAK! DRRRT
DRRT
Ada retakan di tanah
antara mereka! Lulu menjadi pucat pasi. Retakan itu semakin terpecah.
Memisahkannya dengan Ryu. Panic. Keadaan memaksanya berdiri.
Terperangah melihat Ryu tersenyum seperti biasa. Tidak ada kepanikan
sedikit pun dari paras Ryu. Sementara itu, lempengan bumi yang
menjadi pijakan Lulu terus bergerak menjauh. Air matanya membasahi
pipinya yang semerah buah tomat karena tidak bisa lagi ia tahan. Ryu!
Ryu! Begitu teriakan dalam hatinya. Sayang, teriakan itu tidak
terdengar Ryu. Tiba-tiba saja, sekeliling Lulu menjadi gelap gulita.
Jalannya mengendap-endap untuk mencari jalan keluar. Matanya tidak
bisa melihat apa pun. Terlalu gelap. Hitam pekat.
“KYAAAAAA!”
Perasaan tak menentu
beradu di hati Lulu. Kesempatan bertemu Ryu malah terpisah kembali.
Mencari jalan keluar. Malah terperosok ke dalam lubang yang sempit,
gelap, dan engap. Tangisannya tak bisa didengar oleh siapa pun.
Sekali pun ia sudah menangis sekencang-kencangnya. Toh, pada akhirnya
ia hanya menangis di tengah kegelapan.
***
Detak jantungnya!
Detak jantungnya terus melemah. Tim medis pun memutuskan untuk
melakukan kejut jantung. Memindahkan dirinya ke ruangan yang lain.
Satu. Dua. Tiga. Dadanya termagnet sesaat lalu terlepas lagi. Satu.
Dua. Tiga! Hal itu terus dilakukan hingga detak jantungnya kembali
normal. Nasehat yang bisa ia dengar hanya, “harus banyak
istirahat”. Tak bisa! Kelopak matanya tak bisa ia paksa agar
tebuka. Nyeri menjalar di seluruh tubuhnya. Lagi! Hanya bisa
menangis tanpa ada yang mendengar. Lelah. Menggoda jasmani dan
rohaninya untuk beristirahat. Dari segala kesedihan, kekhawatiran,
dan kesakitan.
***
PIP… PIP…
PIP… PIP…
Papa, Mama, dan ka
Firza menunggu raga Lulu di dalam kamar. Papa sibuk berbisik-bisik
dengan dokter. Mama mengelus-elus kening Lulu dengan lembut. Mamanya
berusaha tegar. Bayangkan! Betapa pedihnya seorang ibu melihat
anaknya terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuh. Tungkai kaki
kanan Lulu dibidai karena tulang keringnya patah. Wajahnya juga
tertimpa ala bantu napas. Vivi malah memuta-mutar kedua jari
telunjuknya. Ina, Rizki, dan Gani tak bersuara sedikit pun. Rafli
kelimpungan di depan pintu kamar.
“Lulu… kamu harus
sadar. Yakinkan hatimu kalau semua akan baik-baik saja,” katanya
seperti cacing kepanasan.
“All is well Lu,”
lanjutnya.
“Kami akan ada
bersama kamu…
“Bahkan kalau
perlu, akan kucarikan Ryu untukmu”
Rafli terus berucap.
Berharrap semua ucapannya tersampaikan pada Lulu yang diam terbaring
di dalam kamar. Ka Firza mencoba berbincang dengan Lulu. Tapi tetap
saja, Lulu terus diam tertidur. Tak bergerak. Atau sekedar membuka
kedua matanya.
Gani tidak
mempedulikan kaos putihnya yang kotor, yang merusak penampilannya.
Tampak seperti gembel. Noda darah, coklat kehitaman tanah bercampur
sempurna dengan serpihan daun kering menghias abstrak penampilannya.
Bunyi alat pemantau detak jantung mengganggu telinga seluruh orang
yang menyayangi Lulu di dalam ruangan. Rafli berubah merutuki
dirinya, melihat tidak ada reaksi apa pun dari Lulu. Ia marah, sedih,
dan khawatir. Usai berbincang dengan Papa, dokter keluar kamar dan
melihat Rafli yang berkeringat dingin. Dokter itu tersenyum ramah
padanya. Berjalan cepat ke arahnya, kemudian menyergap bahu Rafli.
“Tidak apa-apa.
Gadis di dalam sana akan baik-baik saja,” ssetelah itu dokter pergi
melewati lorong koridor rumah sakit dengan ekspresi bersimpati. Dan
Rafli sempat melihat ekspresi beliau walau sesaat.
“Pasti ada yang
disembunyikan oleh dokter tadi. Tapi tentang apa?” Rafli begitu
yakin dengan argumennya.
***
Mungkin langit di
angkasa turut bersedih. Awan hitam mengulung-gulung di langit.
Menyekap langit petang. Awalnya hanya awan hitam pekat di langit.
Tapi, setelah ikut nimbrung, suasana langit petang menyirnakan banyak
harapan manusia.
Petang berganti
malam. Begitu juga kilat. Kilat berganti rintik hujan. Lambat laun
malam semakin larut. Rintikan hujan berganti hujan badai. Ina, Rizki,
dan Rafli sudah pulang ke rumah mereka. Gani mengintip langit malam
dari balik tirai jendela. Hujan begitu deras. Badai berkali-kali
menjilati gedung-gendung bertingkat dan pohon-pohon kekar yang
menjulang. Air mengalir di kaca jendela luar. Dengan bintik-bintik
air akibat terpercik benda-benda di sekitar. Tubuhnya jadi bergidik
kedinginan. Hawa dingin menerobos masuk lewat kaca jendela. Lalu
tirai itu ditutup agar hawa dingin terserap kain tirai.
“Dasar. Bukannya
pulang,” kata Gani pelan dengan desahan, melihat Vivi tertidur di
sofa. Dilepasnya jaket hitam bergaris pinggir merah untuk menyelimuti
tubuh Vivi. Kemudian duduk dan menyenderkan kepala Vivi ke bahunya.
Papa dan mama Lulu pulang ke rumah. Papanya akan dinas selama
seminggu di Tanggerang. Sementara mamanya, akan kembali ke rumah
sakit membawa beberapa pasang baju ganti. Ka Firza tertidur di kursi
sembari menghangatkan tangan Lulu. Semoga Lulu di sana merasa
hangat dan nyaman, serta tidak merasa kesepian. Begitu
harapannya.
***
Sudah tidak bisa!
Persedian air matanya sudah habis. Setetes pun. Ia berusaha memanggil
semua orang yang ia sayangi hingga suaranya serak. Kegelapan.
Secercah cahaya pun tidak ada. Yang ada malam sepanjang waktu.
“Papa… mama…”
Panggilnya serak.
“Ka Firza…
“Ryu… Vivi…
Gani…
“Ina… Rizki…
Rafli…
“Siapapun! Bantu
aku keluar dari sini,” katanya dengan kepala menengadah dan
memukul-mukul batasan ruang.
Namun sia-sia saja.
Tidak ada yang datang. Kesepian dan ketakutan menyatu dalam dirinya
di dalam ruang hampa. Menunggu seseorang datang. Seketika saja,
tangan kirinya menghangat. Seperti pertanda kalau ada orang yang
menunggunya dengan penuh harap. Kantung matanya yang sembap
mengatup-ngatup beberapa kali. Dan akhirnya menutup beristirahat
dengan kehangatan di tangan kiri.
***
Waktu terus berputar
ke masa depan. Tetapi, tidak untuk Lulu. Suhu tubuhnya masih hangat.
Sayangnya, tak sedikit pun raganya bergerak. Rafli merasa bersalah
setelah melihat keadaan Lulu selama beberapa hari. Secara diam-diam
ia mencari alamat kediaman keluarga Ryu yang baru. Ia ingin Ryu
menjenguk sobat kecilnya dulu. Setidaknya meminta Ryu untuk
mebisikkan kalimat-kalimat semangat di salah satu telinga Lulu. Agar
Lulu cepat tersadar dari tidurnya.
Memang tidak mudah
untuk mencari keberadaan Ryu. Untung saja motor yang ia kendarai dari
Pondokgede ke Tanggerang Selatan bukan motor “ecek-ecek”. Butuh
pengorbanan yang banyak untuk menemukan keberadaan Ryu. Usahanya
tidak sia-sia! Selalu adajalan jika ada kemauan. Setiba di depan
pagar rumah keluarga Ryu, cepat-cepat ia mematikan mesin motornya dan
turun untuk menekan tombol bel.
“ADA TAMU! ADA
TAMU! ADA TAMU!”
Bunyi belnya tidak
lazim. Setelah beberapa saat menunggu, seorang anak laki-laki
berperawakan tinggi membuka pintu pagar. Rafli meneliti dalam-dalam
paras anak laki-laki itu. Berkulit putih, bermata sipit, berambut
coklat, mengenakan kacamata baca, dan gelang kulit berornamen di
pergelangan tangan kanannya.
“Ryu Hisaki?”
Nadanya bertanya agak ragu.
“Ya. Benar. Ada
urusan apa ya?”
Pagar rumahnya
semakin terbuka lebar.
“Aku Rafli, teman
dari Lulu Ariana. Ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu”
“Oh. Begitu…
kalau begitu silakan masuk. Motornya juga dimasukkan ke taman rumah
saja.”
Mungkin Rafli sudah
kelelahan mengendarai. Tubuh gempal yang ia miliki membuatnya
terengah-engah ketika memasukkan motornya ke taman rumah Ryu. Walau
hanya sekilas, ia melihat Echa. Adik perempuan Ryu.
“Manis sekali,”
katanya tanpa sadar.
“Eh?” Ryu melihat
arah pandangan mata Rafli.
“Oh… dia itu Echa
Hisaki. Adik aku,” jelas Ryu yang memergoki mata Rafli yang
mengamati Echa. Dengan senyum simpulnya yang khas.
Kemudian Ryu mengajak
Rafli masuk ke dalam ruang tamu. Ukuran ruang tamunya memang tidak
luas, tapi desain interiornya menyulap ruang tamu itu terlihat lebih
besar dari ukuran yang sebenarnya. Sembari Rafli meneliti ruang tamu
rumahnya, Ryu menyiapkan sekaleng bikuit, dua gelas kaca yang terisi
penuh, dan teko berdesain yang juga terisi penuh. Begitu dipersilakan
Ryu untuk minum, Rafli meneguk habis air di gelas dalam tiga
tergukan.
“Jadi, ada urusan
penting apa?” Ryu mempercepat perbincangan.
“Aku ke sinin mau
minta bantuan sama kamu untuk Lulu”
‘Lho? Memang Lulu
kenapa? Sampai memerlukan bantuanku?” Ryu mulai khawatir mengingat
figura foto yang jatuh. Lengkap dengan ingatan posisi pecahan kaca
figura itu. Lalu…
CKLEK. Tampaknya
seseorang masuk ke dalam rumah. Ryu pikir yang masuk adalah karyawan
perusahaan Ayahnya. Jadi Ryu bersikap acuh.
“Sebenarnya Lulu…
ia… ia… belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ia terus saja
tertidur di ranjang pasien di rumah sakit”
Tersentak. Berusaha
keras Ryu menyembunyikan ekspresi itu. Berpura-pura tetap tenang
seperti biasanya. Meneguk sekali air putih di gelas kaca agar irama
pernapasannya tetap stabil.
“Lalu? Bantuan
seperti apa yang kamu inginkan?”
‘Datanglah untuk
menjenguknya. Berikan ia semangat. Berjanjilah padanya kalau kamu
akan sering-sering bersamanya,” pintanya begitu lancar.
Ryu tidak bergeming.
Tatapan matanya bak seorang yang bijaksana dalam mengambil keputusan.
Mendapati reaksi Ryu yang tidak bergeming, Rafli menjelaskan awal
kecelakaan yang dialami Lulu. Dari keberangkatan ke kaki gunung,
duduk melingkar, rintikan hujan, serangan burung gagak, hingga yang
terakhir, saat Lulu jatuh terperosok ke lereng gunung. Cerita Rafli
membuat Ryu shock. Ia baru paham, kalau jatuhnya figura foto itu
sebagai pertanda. Pertanda kalau terjadi bahaya pada Lulu. Seharusnya
aku menyadari hal itu dari awal. Dasar payah. Sesalnya dalam
hati.
BRUUUUUSS
Paperbag
belanjaan Umi jatuh. Tomat merah jatuh bergelundung di lantai ruang
tamu. Sontak Ryu memalingkan pandangannya ke arah Umi, lalu
memandangi tomat yang bergoyang-goyang selagi mencari keseimbangan.
Echa mendengar suara khas paperbag yang jatuh dan segera
berlari ke ruang tamu.
“Umi… Umi kenapa?
Paperbag belanjaan Umi jatuh,” Tanya Echa sambil membereskan
sayuran yang jatuh tercecer.
“Abang. Umi kenapa?
Kenapa belanjaannya dijatuhin sama Umi?” Echa mengalihkan
pertanyaannya pada Ryu. Ryu segera bergeming.
“Oh… tidak
apa-apa kok Cha. Belanjaan Umi jatuh karena tangan Umi kelelahan.
Mendingan Echa bantuin Umi bawa belanjaan ke dapur. Abang lagi ada
tamu”
Echa mengangguk
paham.
***
Hampir sepekan Lulu
terus tertidur. Ina dan rizki tidak bisa mengunjungi Lulu sebab
mereka harus menyerahkan beberapa dokumen nilai untuk keperluan
mendaftar di SMA. Kalau Rafli, Gani, dan Vivi sudah mendaftar lebih
dulu. Memang benarkan? Lebih cepat lebih baik. Rafli terus memandangi
jam tangannya. Menghitung jumlah waktu yang telah terlewat. Vivi
dating dengan seikat bunga bakung. Lengkap dengan vas melaminenya.
Gani datang tepat di belakang Vivi. Mama membantu Vivi dengan
mengisikan air ke vas bunga sebagai tanda terima kasih.
“Satu… dua…
tiga…- Vivi menghitung setiap tangkai bunga yang ia masukkan ke
dalam vas.
“Empat… lima…”
ia berhenti menghitung. Berbalik ke arah Gani yang berdiri di
belakangnya.
“Lihat!
Bunganya cantik’kan? Ayo masukkan kedua bunga ini ke dalam vas,”
ia menyodorkan dua tangkai bunga ke wajah Gani. Dekat dengan hidung
Gani. Ia sih berniat baik mau memasukkan kedua bunga itu, tapi
sayangnya, bukannya ia memasukkan kedua bunga itu, yang ada, kedua
bahunya terangkat dan kemudian…
HAAATTSSSSSIIIIH
Kepala
Gani merontokkan semua kelopak bunga bakung. Vivi shock. Wajah
pelongonya tersirat jelas. Disusul dengan siratan kecewa. Setelah itu
Vivi menyalahkan Gani. Gani juga tidak mau disalahkan begitu saj. Ia
berdalih dengan mengungkap kelemahannya. Ia berdalih kalau ia alergi
terhadap bunga. Alergi terhadap bunga! Sungguh konyol. Gerutu
Vivi. Pada akhirnya perkelebatan di antara mereka tidak bisa
dipisahkan lagi. Perkelebatan yang sering terjadi.
***
Paras
Rafli terlihat –harap cemas-. Menunggu kedatangan seseorang. Ryu.
Kemarin, sebelum berpamitan, ia belum mendapatkan jawaban dari Ryu.
Atau sebuah kepastian dari Ryu. Saat ia mendapati kesedihan di mata
Ryu, Ryu tidak bicara sepatah kata pun. Hanya membuka pagar rumah.
Walau pun Rafli berusaha memohon padanya, tetap saja, ia tidak
bergeming. Hanya ketidakpastian yang Rafli dapat setelah ia melajukan
motornya kembali ke Pondokgede.