Desiran angin yang
berhembus di atas bukit merusk suasana. Ryu terdiam. Berpura-pura
masa bodoh. Lulu tampak begitu sedih. Baginya, Ryu, adalah sobat
terbaik yang pernah ia punya. Ryu berusaha mencairkan suasana dengan
memikirkan apa yang akan ia ucapkan. Mencairkan suasana yang sunyi,
hanya kicauan burung yang terdengar dari balik batang pohon.
“Wah bagus dong.
Aku engga harus dengerin tangisanmu,” Ryu memandang lurus kea rah
desa.
“Iiih… kamu
jahat! Kamu jadi nyebelin!” Lulu bangkit dari duduknya, hendak
pergi meninggalkan Ryu karena kecewa.
Secepat kilat juga,
Ryu meraih pergelangan tangan kiri Lulu. Menahannya.
“Duduk! Mau pergi
ke mana?”
“Mau pulang!”
Di sudut bibir Ryu
tersirat senyum simpul.
“Kenapa mau pulang?
Di sini saja. Nikmati anginnya.”
“Ga mau! Jawaban
kamu nyebelin sih!”
“Memang kamu mau
jawaban yang seperti apa?”
“Aku pikir kamu
akan sedih kalau aku pindah ke kota. Tapi ternyata, kamu malah ga
peduli.”
“Baiklah, kalau
gitu. Aku sedih. Sangat sedih. Tahu tidak?”
Lulu
terdiam dan kembali duduk. Menyadari yang dikatakan Ryu adalah
sungguhan. Ia mulai tertawa. Baginya, ucapan Ryu menjadi lucu.
Membuat Ryu malu. Terlihat jelas kalau paras Ryu memerah. Merah
padam. Kemudian mereka tertawa bersama. Semua kekhawatiran dan
kecemasan seperti lenyap di antara mereka. Bebatuan besar di atas
bukit dengan kemiringan landai akan menjadi kenangan. Mereka
memainkan gelang kulit yang dibuat Ryu. Bertukar tutup ornamen kecil
yang menghias gelang kulit. Kemudian berlarian di atas bukit yang
asri. Tanpa diminta, kelinci yang pernah dikejar oleh mereka muncul.
Mulutnya gempal. Menyimpan beberapa potongan wortel. Kini mereka
tidak perlu mengejar kelinci itu. Lulu duduk bersila di atas
rerumputan hijau yang tak jauh dari kelinci itu. Semilir angin
menyibak wajah dan rambutnya yang diikat dua bagian ke samping. Jiwa
Lulu tampak begitu tenang dengan senyumannya bak seorang putri
bangsawan Jepang yang sedang menikmati guguran bunga sakura. Kelinci
itu mendekati Lulu sambil mengendus-enduskan hidungnya, seperti
memastikan kalau mereka manusia yang baik. Setelahnya melompat ke
atas pangkuan Lulu. Kelinci itu tidak memberontak ketika berada di
pangkuan Lulu. Dibelai lembut-lembut bagian kepala kelinci itu.
Parasnya yang cantik berubah sayu.
***
Butiran-butiran embun
di atas dedaunan tersorot sinar matahari pagi bak sebuah berlian
mahal yang diberikan Cuma-Cuma oleh Allah untuk menghiasi bumi dan
memberikan harapan untuk makhluk-makhluk ciptaanNya. Dua mobil losbak
dipenuhi oleh barang-barang yang dibawa keluarga Lulu dan beberapa
warga yang hilir mudik ke atas losbak mobil. Echa, adik perempuan Ryu
menatapi selembar foto terbingkai yang dipegangi Lulu. Echa bingung,
bagaimana bisa diri kakaknya berada di atas selembar kertas berwarna
putih kecoklatan. Anak perempuan berumur lima tahun itu akhirnya
mengajak bermain boneka bersama Lulu.
Sementara Ryu yang
duduk di depan teras rumahnya memendangi sobatnya yang akan segera
pindah ke kota sembari menjaga adiknya. Selembar foto yang bersarang
di tangannya, foto yang baru dibuat olehnya bersama Lulu tempo hari
di sebuah studio foto yang tak jauh dari desa mereka. Di bagian
belakang foto, ada tulisan tangan yang indah. Goretan pena yang
indah bertuliskan petuah.
Friendship
will never die
It
would be remembered in our life, together
Petuah yang
dituliskan oleh mama Lulu. Ryu meyakinkan jiwanya untuk mempercayai
petuah itu. Sebab, mereka telah berjanji. Berjanji untuk bertemu
lagi di masa depan. Dua mobil losbak telah selesai dibenahi. Deru
mesin mobil mewarnai suasana jiwa Ryu. Firza, kakak laki-laki Lulu
melambaikan tangan dengan sekali ayun. Laki-laki memang seperti itu
bukan? Berusaha terlihat keren. Sambil menggandeng tangan Echa, Ryu
membuat simpulan senyum. Merelakan kepergian Lulu.
“Suatu hari nanti,
kita akan bertemu di masa depan” katanya pelan.
Begitulah Ryu
meyakinkan jiwanya untuk tenang dari perasaan gundahnya.
***