Selasa, 04 September 2012

She's Change

SHE’S CHANGE
“Ryuuu! Tunggu aku,” Lulu berusaha mengejar sobatnya yang berlari menyusuri hutan. Mengejar-ngejar kelinci hutan.
“Lulu, kalau tidak cepat-cepat entar kelincinya keburu jauh,” kaki kurus Ryu melompat-lompat ringan beberapa kali melewati akar-akar pohon besar yang menjulang dan melengkung ke atas.
Sementara Lulu, ia tersandung akar-akar pohon untuk beberapa kali yang bisa dilewati dengan mudah oleh Ryu. Kalung perak yang terkait berbandul lempeng chibi anak perempuan yang melingkari lehernya terayun-ayun akibat gerakannya. Awalnya, ia bisa mengikuti gerakan Ryu. Tapi, kaki putih langsatnya terlalu gemulai untuk melewati rumput ilalang yang terasa menusuk-nusuk membuatnya menyerah dan jatuh tersungkup karena tersandung akar pohon tua dan besar yang menjalar di atas lapisan tanah. Kalungnya ikut terlempar ke dalam lubang pohon yang dibuat seekor binatang karena hentakan badan Lulu yang terjatuh. Lulu mulai menangis terisak. Melihat sobatnya menangis, Ryu menghentikan langkahnya, membiarkan kelinci sasarannya pergi ke dalam hutan bagian dalam. Ia menghampiri sobat perempuannya yang menangis.
Lulu menundukkan kepalanya. Rambut hitamnya yang lurus panjang terjuntai ke bawah. Ryu pun berusaha menghiburnya.
“Kamu ini kenapa? Kan’ kamu sendiri yang mau pelihara kelinci hutan tadi. Dasar bodoh”
Tangisan Lulu semakin merajuk menndengar ucapan Ryu.
“Sudah! Berhenti menangis. Dan cepat berdiri,” ucapan Ryu seolah tidak peduli akan luka lebam di pergelangan kaki Lulu. Ia berpura-pura terlihat tenang di hadapan Lulu.
Namun, Lulu tetap menangis dan tidak mau berdiri. Air matanya terus menangis dari sudut matanya yang indah.
“Iya deh aku minta maaf karna engga berhasil menangkap kelinci hutan itu dan mengajak kamu ke sini. Sudah, cepat berdiri” Ryu menyesal.
Lulu tetap menangis. “ Memangnya sakit banget ya?’” Ryu membungkuk dan melihat kedua kaki Lulu. Mencari bagian-bagian yang lebam. Dan membuat Lulu terus menangis tanpa tahu penyebabnya.
“Maaf deh. Sakit ya?” Ryu melembut.
“Bukan itu! Aku menangis bukan karna itu,” Lulu mulai bicara walau pelan.
“Hah? Terus karna apa dong?”
“Kamu jahat! Kamu mengatai aku bodoh! Cepat tarik kata-katamu yang tadi! Aku’kan hanya terjatuh, kenapa dikatai bodoh?”
“Apa? Ya ampun! Aku kira kamu nangis karna sakit. Kalau kata-kata yang itu tidak akan kutarik. Aaaahh.. sudahlah cepat berdiri. Ayo kita pulang”
Ketika Lulu berdiri, kaki kanannya bergetar. Kemudian terjatuh. Lalu ia kembali berdiri. Dan kembali terjatuh. Hingga yang kelima kalinya ia mencoba untuk berdiri, namun tetap gagal. Ryu menjadi kesal. Ia marah. Marah pada dirinya sendiri. Ia pun berjongkok membelakangi Lulu.
“Naiklah! Dan berhenti menangis. Berisik tau”
“Benarkah?” Kini isakan Lulu terhenti.
Ryu mengangguk iya. Tangan Lulu tersimpul erat, membekap dada Ryu. Kedua kakinya dirangkul Ryu agar tidak jatuh. Sesekali, simpulan tangannya merenggang saat Ryu melewati akar-akar pohon besar yang kemudian dieratkan kembali. Ia merasa aman berasa di dekat sobatnya. Hampir setiap saat mereka bersama. Bemain, belajar, menjelajah, berangkat sekolah. Mereka seperti tidak bisa dipisahkan. Ryu, ia anak yang cerdas, cekatan, dan terampil. Walaupun sering bersikap masa bodoh. Sementara Lulu, ia anak yang cantik, pintar, dan ramah. Mereka sering bergantian berkunjung ke rumah satu sama lain. Orang tua mereka juga sudah saling kenal. Dan terbiasa dengan kegiatan mereka berdua. Mereka tinggal di desa. Desa yang indah, bersih, dan masih asri.
Di belakang desa ada sebuah bukit. Bukit yang dihuni rerumputan liar, pohon-pohon dan beberapa hewan hutan yang bervariasi. Sebab di balik bukit terdapat hutan. Hutan yang dianggap sebagian masyarakat desa sebagai hutan terlarang. Sepasang mata burung elang putih berekor hitam mengamati setiap langkah Ryu. Lulu mengamati sekitarnya. Akar pohon beringin yang berjuntai rimbun sudah dilewati sejauh lima meter. Walau hanya semilir angin yang menampar lembut untaian akar, bunyi desirannya begitu mencekam. Alunan music hutan seakan bunyi genderang yang bertabuh menghipnotis pendengarnya. Melewati pohon beri hutan yang tersamarkan oleh semak-semak di sampingnya. Dan kembali melewati juntaian akar pohon yang lebat. Ryu telah terhipnotis alunan music “sang jantung hutan”. Lulu tersadar akan hal itu. Sepasang mata burung mata masih nyaman mengamati langkah kaki Ryu dari sebuah batang pohon.
“Ryu! Berhentilah untuk terus melangkah ke arah yang sama. Langkahmu membuat kita hanya berjalan mengitari phon beringin, beri hutan, dan semak-semak belukar. Langkahmu hanya membuat kita tersesat! Dan di mana sarang ternak lebah milik Ayahmu? Sarang itu sebagai tanda kalau kita berada di hulu hutan”
“Benarkah itu? Kalau itu memang benar, beritahu aku, di mana sekarang aku berdiri,” Ryu menghentikan langkahnya dan berusaha mendengar suara yang samar. Seperti suara geraman.
“Apa? Kamu sungguh tidak tau? Kau sedang berdiri tepat di bawah pohon beringin. Pohon terbesar dan tertua di hutan ini,” sementara itu, Ryu berjalan mundur perlahan, mendekati batang pohon yang diperkirakan berdiameter beberapa dekade itu. Untaian akarnya pun panjang-panjang. Nyaris menyentuh tanah. Ryu memilih juntaian akar yang tidak terlalu panjang. Lulu mulai merasakan kekhawatiran dari sikap Ryu.
GHHHEER. GHHHHEEERR. Kemudian, SRAAK. SRAAKK.
“Cepat panjat akar-akar pohon ini setinggi-tingginya. Sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Dan berhati-hatilah. Jangan sampai menimbulkan gerak-gerik yang mencolok. Apalagi sampai jatuh. Mengerti?” Ryu berbisik. Setelah Lulu mengangguk mengerti, ia dinaikkan beberapa meter lebih tinggi agar lebih mudah untuk memanjat untaian akar pohon. Tanpa ragu sedikit pun, Ryu memanjat beberapa untaian akar pohon yang dipercayai sebagai jantung hutan itu di sisi yang lainnya. Tak berapa lama kemudian, sosok penggeram itu muncul. Dipandangnya jelas oleh Ryu dari ketinggian. Sosok itu. Sosok itu dipenuhi warna oranye cerah. Diserati garis-garis loreng hitam legam. Membuat sosok itu terlihat cantik, tapi juga menakutkan untuk didekati. Saat itu juga Lulu dapat melihat sosok geraman yang diwaspadai oleh sobatnya. Wajahnya yang baru berseri kembali menjadi pucat ketakutan. Genggaman kedua tangannya mulai bergetar. Juga melemah. Ia melayangkan pandangan menyerah pada Ryu. Butiran-butiran keringat mulai keluar dari keningnya. Untaian akar pohon yang ia genggam bergerak mengikuti gemetar tangannya. Kedua kakinya yang tidak mampu menahan beban tubuhnya mengakibatkan ia turun beberapa meter dari tempatnya semula. Suara gemersik yang ditimbulkannya membuat sosok menakutkan di bawah, berputar-putar perlahan. Untungnya seekor burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya hingga mengalihkan perhatian sosok itu. Burung itu berkicau seolah menantang sosok yang ukuran tubuhnya lebih besar berkali-kali lipat dan memiliki deretan gigi yang siap mengoyak tubuh burung itu bila tertangkap. Burung yang sedaritadi mengamati Ryu dan Lulu.
“Ryu. Aku takut,” kata Lulu pelan pada sobatnya yang bergantung lebih tinggi.
“Bersabarlah sedikit lagi”
Ujung untaian akar bergerak mengikuti gerakan tubuh Lulu yang semakin merosot.
PAAK PAAK PAAK KRUUUUUUR. Burung elang itu siap untuk terbang. Kedua sayapnya sudah terbuka lebar.
“Ryuu… tolong aku,” nada Lulu semakin ketakutan. Hanya sekitar empat meter lagi, ia jatuh menimpa sosok itu. Lebih tepatnya, sosok itu adalah… harimau! Ryu masih mengamati harimau di
bawah Lulu. Binatang yang merasa tertantang oleh seekor burung itu, tak mau kalah. Kuku-kuku tajam di jejari ke empat kakinya terhunus tajam. Ekornya menggeliat ke atas. Sorot matanya berubah lebih tajam.
GHEEEERRR GRAAAW GRAAAW!!!
Tampaknya harimau itu lebih marah. Kemudian…
WUUUUSSS. Burung itu terbang menukik dan menerjang sang harimau dengan paruhnya. Tidak terima dengan serangan sang burung elang, harimau itu melambaikan ekornya dengan kekuatan besar dan mengenai sayap kanan sang burung. Tak mau kalah, wajah harimau itu berhasil tergores paruh burung elang yang terbang tinggi setelahnya. Harimau itu semakin marah. Mengejar sang burung yang terbang menjauhi “sang jantung hutan”.
Segera Ryu melepaskan genggamannya, meluncur ke bawah dengan cepat, setelah itu berdiri di bawah Lulu. Memastikan bahwa burung elang itu telah menggiring harimau menjauhi “sang jantung hutan”.
“Hey! Cepatlah turun. Pelan-pelan saja agar aku bisa menangkapmu,” Ryu menyuruh Lulu turun sembari memperhatikan pohon beringin, “sang jantung hutan” itu. Seperti ada kekuatan yang melindungi dirinya dan Lulu.
“Aku pikir, aku akan dimakan harimau itu. Tapi, Ryu, kenapa tadi kamu begitu tenang?”
“Ada suatu kekuatan di pohon ini. Aku merasa ada kisah tersembunyi tentang pohon ini”
“Tentu saja!”
“Maksud kamu apa?” Tanpa sengaja, Ryu melihat seorang kakek tua renta yang seluruh bagian rambutnya memutih. Kakek itu berjalan ke arah Ryu dengan tongkat kayu yang begitu sederhana. Kakek itu tersenyum, lalu berbelok, dan menghilang. Ryu mencoba untuk mencari kakek tersebut. Namun sia-sia.
“Kenapa kamu berputar Ryu?” Lulu sudah di ujung untaian akar.
“Oh… engga apa-apa kok. Sudahlah. Cepat turun ke atas punggungku”
***
Pohon besar yang diselubungi lumut di salah satu sisi menjadi penunjuk arah bagi Ryu yang menggendong Lulu di punggungnya. Ia terus menapakkan kakinya yang keletihan. Dipandangnya jalan setapak yang sedang ditelusuri. Sebatang cabang pohon yang jatuh terpatah. Warna kecoklatannya. Daun kering yang lebar. Ya, Ryu tahu kalau cabang pohon yang dipungutnya berasal dari pohon jati. Perlahan muncul hasrat untuk membuat sepasang gelang dari cabang tersebut. Untuknya dan untuk Lulu.
Langit mulai disirami warna oranye. Segerombol burung mendarat di beberapa cabang pohon. Membawa beberapa biji-bijian yang bisa dimakan oleh burung-burung muda dan kecil yang tersembunyi di balik sarang. Ryu dan Lulu sudah berhasil keluar dari hutan. Tinggal menapaki bukit. Lulu masih saja melingkari dada sobatnya dengan kedua tangannya yang putih dan kurus.
“Ryu… kalungku tidak ada,” katanya membisik di telinga Ryu.
“Yang benar?” Ryu memastikan
“Iya. Pasti terlepas saat aku jatuh. Bagaimana ini? Kita engga mungkin nyari malem-malem kan?”
“Ya sudah. Besok aku carikan”
Walau sudah kelelahan, Ryu masih sanggup menggendong Lulu sampai ke teras rumah Lulu. Seusai meneguk segelas air yang disuguhkan Lulu, ia bergegas pulang ke rumahnya. Tak berapa lama kemudian, adzan Maghrib berkumandang.
***
Sinar ultraviolet bersinar ramah di desa Sembiring. Bunga-bunga yang mekar terlihat lebih sempurna. Aaah… tidak ada yang bisa lebih sempurna dari ciptaan Allah. Ryu sudah menemukan kalung sobatnya. Kalung yang didapat dari nenek yang begitu Lulu sayangi. Di kantong celananya tersimpan gelang yang ia buat dengan sedikit bantuan dari Papanya. Tali gelang yang terbuat dari kulit sapi, menyangga ornamen bunga dandelion dengan panah di bagian atas bunga. Ornamennya tidak terlalu besar ataupun kecil. Ornamen itu punya dua bagian. Lebih tepatnya, bisa dibuka tutup. Kalau tutup ornamennya dibuka, ada tulisan yang diukir. RYULU. Dengan senang hati, ia mengajak Lulu ke atas bukit. Hanya saja, Lulu sedikit aneh. Tergambar kekhawatiran dari parasnya. Ia menyembunyikan sesuatu dari Ryu. Usai menceritakan legenda “sang jantung hutan” ia berencana menyampaikan satu hal pada Ryu.
“Jadi begitu. Pantas saja aku melihat seorang kakek”
“Ryu, kemarin kamu janji mencari kalungku. Sudah ketemu belum?”
“Oh… iya kalung. Ini”
Ia juga memberikan gelang buatannya. Lulu bisa melihat ukiran nama setelah membuka tutup ornamennya.
RYULU? Apa itu?” Tanya Lulu
RYULU… Ryu dan Lulu. Cepat dipakai”
Lulu terdiam sejenak, “Ryu … tetaplah menjadi sobat terbaikku walaupun nanti kita terpisah”
“Terpisah? Memangnya kita bisa dipisahkan?” Ryu bergurau.
“Ryu… a… aku… akan pindah ke kota tiga hari lagi”
“Maksud kamu? Pindah rumah?”
Desiran angin merusak suasana di atas bukit saat itu. Membuat Ryu tak bisa berkata apa-apa.


To Be Continued…

Biological Agent Classification According to the Risk

Class Deskripsi Tipe Agent Contoh Mikroorganisme Class I Mikroorganisme yang digun...